Tuesday, November 27, 2007

SKENARIO ANTISIPASI HARGA MINYAK DUNIA

Jakarta, 27 November 2007


SKENARIO ANTISIPASI HARGA MINYAK DUNIA

Harga minyak mentah di pasar internasional terus meroket seakan tanpa kendali. Sampai awal pekan ini, harganya tercatat sudah mencapai 99 dolar AS per barel, alias berada diambang angka psikologis 100 dolar AS per barel. Harga setinggi itu jelas tak pernah terbayangkan sebelumnya, bahkan beberapa bulan lalu, di awal-awal pergerakan 'liar' harga minyak.
Hampir semua negara di dunia terkena imbasnya, juga Indonesia yang saat ini juga sudah pula tercatat sebagai pengimpor minyak. Sejak awal melejitnya harga minyak, pemerintah masih sangat yakin anggaran belanja negara tak banyak terganggu meski terus mewaspadai pergerakan harga minyak. Bahkan muncul pula suara bahwa kita masih menikmati windfall profit karena juga masih mengekspor minyak mentah.
Namun kini, saat harga minyak nyaris tak terkendali, kita baru sibuk mengantisipasi dampaknya terhadap beban anggaran. Memang, seperti dinilai sebagian kalangan antisipasi ini agak sedikit terlambat, karena asumsi-asumsi, termasuk harga minyak, dalam anggaran belanja tidak disesuaikan sejak awal.
Keterlambatan mengantisipasi tersebut memang sangat mungkin terjadi. Pasalnya, boleh jadi, ketika harga minyak terus melangit, muncul dilema, bahkan kegamangan pemerintah untuk mengantisipasi dampaknya terhadap anggaran. Sebelumnya, dalam anggaran belanja, harga minyak diasumsikan hanya 60 dolar AS per barel. Jika asumsi ini diubah sesuai harga riil, itu berarti beban subsidi juga akan membengkak. Sebaliknya, menaikkan harga untuk menekan subsidi juga bukan opsi yang bisa dilakukan. Apalagi, para elite politik terlanjur melontarkan pernyataan tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak sampai 2009 nanti.
Kita tentu saja berharap pemerintah bisa secepatnya keluar dari situasi dilematis itu, dengan mengusung skenario-skenario antisipasi yang jelas serta bisa terimplementasi baik. Ada sejumlah skenario yang disebut-sebut bakal dipilih; mulai dari akselerasi terkait program konversi minyak tanah ke gas, peningkatan produksi minyak, sampai insentif bagi industri yang menggunakan bahan bakar nonminyak. Semua skenario itu diyakini bisa menjadi kunci untuk mengurangi tekanan dan beban subsidi bahan bakar minyak dalam anggaran belanja.
Skenario seperti apa memang belum dijelaskan secara rinci, namun kita berharap, apapun skenarionya, tidak hanya bertujuan untuk menyelamatkan anggaran belanja negara tahun depan. Skenario itu tidak hanya bertujuan mengutak-atik beragam angka asumsi. Kita berharap skenario tersebut mencakup pula antisipasi-antisipasi dampak tak langsung lonjakan harga minyak terhadap publik.
Selama ini, lonjakan harga minyak antara lain berimbas pula pada industri, terutama yang menggunakan bahan bakar tak bersubsidi. Biaya produksi jadi meninggi, sementara perusahaan nyaris tak punya lagi ruang untuk melakukan efisiensi, lantaran ekonomi biaya tinggi masih membayangi. Bukan tak mustahil situasi ini berujung pada rasionalisasi karyawan.
Dampak tak langsung seperti itulah yang perlu pula diantisipasi, misalnya dengan membentuk jaring pengaman sosial atau yang semacamnya. Jika tidak, kita akan semakin sulit melepaskan diri dari jeratan kemiskinan dan pengangguran. Dan skenario antisipasi untuk ini rasanya tak cukup dengan penyediaan dana cadangan. Tak cukup pula dengan mengubah asumsi dalam anggaran tanpa program-program yang berkelanjutan dan terukur.



Wassalam

Rachmad
Independent
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com