jakarta 8 Januari 2007
Menjaga Momentum Penurunan Suku Bunga
Trend penurunan BI Rate tampaknya terus berlanjut. Setelah Bank Indonesia menurunkan BI Rate (suku bunga induk) sebanyak lima kali di tahun 2006, masing-masing 50 bp (0,50 persen), maka di awal tahun 2007 ini, BI Rate kembali diturunkan sebesar 25 bp (0,25 persen). BI Rate akhirnya menjadi sebesar 9,50 persen. Penurunan BI Rate ini tentunya harus direspons oleh berbagai kalangan dengan optimisme tinggi, termasuk kalangan dunia usaha. Fenomena penurunan suku bunga ini jelas sangat ditunggu-tunggu kalangan dunia usaha. Selama ini mereka menjerit akibat tingginya suku bunga pinjaman bank. Tak aneh kalau tingkat loan to deposits ratio (LDR) bank-bank masih sangat rendah, hanya pada kisaran di bawah 60 persen. Nah, dengan suku bunga yang terus menurun, maka pada waktunya suku bunga kredit juga akan semakin rendah dan itu sangat kondusif juga ideal bagi dunia usaha di Indonesia ini.
Kendati berita ini cukup menggembirakan, banyak kalangan (termasuk dunia usaha) pesimistis. Pasalnya, tanpa dibarengi kebijakan lainnya, penurunan suku bunga belum cukup untuk mendorong sektor riil kembali bergerak cepat. Stimulus berupa penurunan suku bunga kredit, tampaknya sudah bagus, namun belum cukup untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi fantastik. Perlu ada kebijakan suplemen lain sebagai pelengkap untuk memperkuat kebijakan penurunan BI Rate. Kebijakan ini lah yang ditunggu kalangan pebisnis, pelaku dunia usaha.
Kompleksitas masalah
Persoalan yang menggelayuti dunia usaha sebenarnya cukup pelik dan kompleks. Mereka tidak hanya membutuhkan bantuan permodalan (pembiayaan) semata, namun juga membutuhkan dukungan mulai dari ketersediaan bahan baku, masalah produksi, masalah perburuhan (SDM), serta berbagai masalah pascaproduksi seperti tingginya biaya-biaya tidak resmi (pungutan). Masalah itu antara lain berupa mahalnya biaya transportasi (akibat kerusakan insfratruktur jalan raya), masalah pemasaran produk serta seabrek persoalan lain yang tidak kalah rumit.
Persoalan yang menggelayuti dunia usaha sebenarnya cukup pelik dan kompleks. Mereka tidak hanya membutuhkan bantuan permodalan (pembiayaan) semata, namun juga membutuhkan dukungan mulai dari ketersediaan bahan baku, masalah produksi, masalah perburuhan (SDM), serta berbagai masalah pascaproduksi seperti tingginya biaya-biaya tidak resmi (pungutan). Masalah itu antara lain berupa mahalnya biaya transportasi (akibat kerusakan insfratruktur jalan raya), masalah pemasaran produk serta seabrek persoalan lain yang tidak kalah rumit.
Oleh sebab itu, kebijakan penurunan suku bunga ini sebenarnya tidak cukup untuk kembali membangunkan sektor riil dari mati surinya. Untuk kembali menggairahkan dunia usaha, dibutuhkan stimulus kebijakan lainnya dari pemerintah. Kebijakan itu seperti kemudahan perizinan investasi, masalah insentif perpajakan, perbaikan infrastruktur jalan dan pelabuhan, perampingan birokrasi, rendahnya produktivitas, juga seabrek masalah investasi lain yang perlu pembenahan menyeluruh.
Tak aneh, kalau dalam pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pengusaha Singapura belum lama ini terungkap pesan bahwa para investor Singapura lebih memilih membenamkan investasinya di Cina, India dan Vietnam, bukan ke Indonesia. Persoalannya sederhana, kita dianggap belum banyak berbenah, di mana kultur dan kebiasaan kita belum banyak berubah. Pengurusan izin investasi masih memerlukan jalan panjang dan memakan biaya besar, belum lagi berbagai pungutan liar lainnya.
Untuk itu, perampingan birokrasi perizinan perlu dilakukan karena berdasarkan studi tahun 2003 lalu, diketahui untuk melakukan kegiatan investasi di Indonesia dibutuhkan 12 macam perizinan yang perlu waktu 150 hari untuk mengurusnya. Bahkan, perizinan di daerah bisa mencapai 180 hari.
Hingga tahun 2005, data tersebut masih valid. Ini berbeda dengan negara-negara tetangga baik Thailand, Vietnam, maupun Filipina yang memerlukan waktu yang lebih ringkas dibanding di Indonesia. Di sisi lain, ketersediaan infrastruktur juga menjadi salah satu kendala tersendiri. Jelas, kerusakan berbagai sarana umum dan infrastruktur itu menyebabkan banyak industri menjadi tidak kompetitif. Biaya listrik dan transportasi menjadi mahal. Ujung-ujungnya, produk Indonesia juga lebih mahal dibandingkan barang impor dari Cina misalnya.
Dampak ikutannya, banyak investor yang semula akan menanam modalnya di sini, menjadi berpikir ulang, kalau bisa bahkan merelokasikan usahanya ke negara lain yang jauh lebih murah dan nyaman. Itulah beberapa persoalan klasik yang harus segera dibenahi.
Jadi, tidak usah heran, kendati BI sudah berupaya 'menormalkan' BI Rate cukup besar (sebelumnya pernah mencapai 8,5 persen), tidak otomatis kita bisa mengharapkan segera terjadi perbaikan ekonomi, dalam artian sektor riil kembali menggeliat dan mampu menyerap puluhan juta pengangguran. Masalahnya, agar perekonomian yang tengah mengalami perlambatan ini bisa mengalami percepatan, maka faktor penentunya bukan hanya terletak pada persoalan tingkat suku bunga, tetapi juga pada iklim dunia usaha dan investasi yang kondusif.
Momentum
Sebagai respons positif dari sinyal yang sudah diberikan otoritas moneter, pemerintah harus segera menikdaklanjutinya dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan yang kondusif bagi dunia usaha dan pro pasar. Mumpung momentumnya bersamaan dengan penurunan BI Rate, yang kemungkinan akan terus berlanjut, ada baiknya pemerintah beserta dengan jajarannya all-out menciptakan berbagai kebijakan yang mendukung bangkitnya sektor riil secepatnya. Di antaranya adalah dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Sebagai respons positif dari sinyal yang sudah diberikan otoritas moneter, pemerintah harus segera menikdaklanjutinya dengan mengeluarkan serangkaian kebijakan yang kondusif bagi dunia usaha dan pro pasar. Mumpung momentumnya bersamaan dengan penurunan BI Rate, yang kemungkinan akan terus berlanjut, ada baiknya pemerintah beserta dengan jajarannya all-out menciptakan berbagai kebijakan yang mendukung bangkitnya sektor riil secepatnya. Di antaranya adalah dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif.
Ciptakan persaingan sehat dan positif di antara provinsi yang ada untuk berlomba-lomba menarik investasi (asing maupun domestik) ke daerahnya. Sejalan dengan itu, berbagai infrastruktur penunjang seperti jalan raya, telekomunikasi, kelistrikan, pelabuhan, perlu juga mendapat perhatian untuk segera dibenahi. Semua sarana umum ini harus segera dibenahi, jika kita semua ingin mendukung bangkitnya sektor riil. Hanya dengan cara semacam itu, para investor atau calon investor akan berlomba-lomba membenamkan dananya di Indonesia dalam berbagai bidang usaha. Bukankah ini yang ditunggu-tunggu banyak kalangan? Mari segera kita mulai dan awalnya adalah dengan menjaga momentum penurunan suku bunga.
Wassalam
Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com