Sunday, November 11, 2007

Keprihatinan Akhir Tahun

Jakarta 20 Desember 2006
Keprihatinan Akhir Tahun

Apa boleh buat, kita harus menutup tahun 2006 dengan kepala tertunduk. Berbagai indikator menunjukkan capaian kita sepanjang tahun ini, tak menggembirakan, malah tambah memprihatinkan. Betapa tidak?
Baru saja Bank Dunia mengumumkan, saat ini, separuh penduduk Indonesia (49 persen) atau 108,78 juta orang, hidup dalam kondisi miskin dan rentan miskin. Mereka hidup dengan penghasilan kurang dari 2 dolar AS (Rp 18.000) per hari. Indikator kemiskinan lainnya, 25 persen anak Indonesia di bawah usia 5 tahun, menderita gizi buruk. Dari setiap 100 ribu kelahiran, terjadi 307 kematian ibu. Itu artinya, kematian di sini tiga kali lebih tinggi dari kematian ibu melahirkan di Vietnam, atau enam kali kematian ibu di Cina dan tetangga kita terdekat, Malaysia.
Sebagai konsekuensi logisnya, kondisi ini akan disusul dengan meningkatnya kriminalitas, yang menyebabkan meningkatnya pula rasa tak aman masyarakat. Lalu diikuti menurunnya nilai moral masyarakat. Ikutilah koran dan TV. Setiap hari beritanya gencar dengan pencurian, perampokan, penipuan, perkosaan, pembunuhan, dan jangan lupa, yang paling ramai: perselingkuhan dalam rumah tangga.
Pemberantasan korupsi digencarkan dengan banyak penangkapan. Tapi nyatanya peringkat korupsi kita oleh lembaga internasional, tak berubah. Korupsi tetap tinggi. Itu bisa dikonfirmasi dengan pengalaman masyarakat sehari-hari. Mereka yang berurusan dengan birokrasi pemerintahan, mulai urusan KTP, izin, atau berbagai urusan lainnya, tetap harus mengeluarkan uang. Pengguna lalu-lintas yang ditangkap polisi tetap harus memberikan suap. Malah, belakangan semakin gencar teriakan dari masyarakat bahwa penangkapan korupsi dilakukan dengan 'tebang pilih'. Yang ditangkap adalah orang atau mantan pejabat yang tak punya beking politik atau kekuasaan.
Maka sekali pun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) atau Kejaksaan Agung, terus-menerus mengampanyekan gerakan anti-korupsi dan didukung penuh oleh media massa, hasilnya kurang memuaskan. Ternyata jajak pendapat yang dilakukan Tranfarency Internasional Indonesia menyebutkan 68 persen responden berpendapat pemberantasan korupsi di Indonesia tidak efektif.

Patuh pada neoliberal
Yang lebih memprihatinkan, ada kecendrungan pemerintah semakin terperosok sebagai pelaksana yang patuh dari agenda neoliberal, yang terbukti di masa lalu menjerumuskan bangsa ini ke jurang krisis ekonomi yang amat parah. Agenda itu antara lain, penghapusan subsidi, privatisasi BUMN, dan liberalisasi perdagangan. Semua agenda itu kalau ditrapkan hanya akan menguntungkan negara ekonomi kuat, sekaligus juga akan menyengsarakan negara miskin, seperti Indonesia . Kita cuma menjadi pasar produk mereka, semua BUMN mereka miliki, sementara rakyat menjadi papa.
Kecendrungan itu bisa dilihat dari tindakan pemerintah ketika menaikkan harga BBM yang begitu tingginya, sehingga menyebabkan kemelaratan rakyat, naiknya angka pengangguran, dan meningkatnya dengan tajam jumlah orang miskin. Belakangan, setelah terbentuknya UKP3R, semakin santer terdengar pemerintah akan melego BUMN yang bagus, seperti Pertamina, Bank Mandiri, PLN, dan Telkom. Apalagi di belakang pendirian UKP3R ada sebuah konsultan asing, Mc-Kinsey dari Amerika Serikat.
Terkait soal ini, pemerintah perlu diingatkan tentang apa yang ditulis John Perkins dalam bukunya Confessions of An Economic Hit Man (Pengakuan Seorang Ekonom Perusak). Di situ disebutkan bahwa para ekonom perusak (economic hit man) seperti John Perkins, melakukan operasinya di Indonesia tahun 1970-an, dengan menyamar sebagai staf perusahaan konsultan dari Amerika Serikat, Main Inc. Padahal, seperti diakuinya sendiri, dia adalah seorang intel yang bekerja untuk menguasai sumber daya alam dan politik Indonesia, melalui jebakan utang.
Masih dalam kaitan ini, terlihat bahwa kita terlalu mengistimewakan perusahaan asing, sekali pun investor asing yang baru tetap tak masuk ke Indonesia, sementara perusahaan nasional di dalam negeri telantar. Perlakuan pemerintah dalam kasus lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, yang melibatkan perusahaan nasional PT Lapindo Brantas, berbeda dengan kasus pencemaran berat Teluk Buyat, Sulawesi Utara, oleh limbah tambang emas PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan asal Denver, Amerika Serikat.
Dalam kasus Lapindo, sekali pun sampai sekarang pemerintah belum memiliki kesimpulan bahwa bencana di kawasan pertambangan gas itu karena kesalahan Lapindo Brantas, tapi presiden sudah membuat keppresnya. Keppres itu mewajibkan semua kerugian yang ditimbulkan oleh bencana tersebut ditanggung PT Lapindo, termasuk membiayai Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Panas yang dibentuk pemerintah.
Sementara dalam kasus Teluk Buyat, sekali pun pemerintah sudah meneliti dan memutuskan bahwa pencemaran terjadi karena kesalahan perusahaan asing itu, presiden tak pernah mengeluarkan keppres yang sama dengan kasus Lapindo. Padahal di Teluk Buyat juga rakyat menderita, mereka terkena penyakit aneh, benjolan tumbuh di tubuh, malah ada yang meninggal dunia, dan tak sedikit yang harus pindah karena rusaknya kondisi lingkungan tinggal mereka oleh pembuangan limbah.
Malah di Teluk Buyat awalnya pemerintah cuma diam, sampai terjadi ingar-bingar karena gigihnya protes dan demonstrasi yang digerakkan LSM di sana dan di Jakarta. Pemerintah kemudian menggugat PT Newmont, tapi belakangan, gugatan dicabut, dan PT Newmont cuma membayar ganti rugi dalam jumlah dolar tak seberapa, untuk kesalahannya yang begitu dahsyat. Mestinya untuk kerusakan lingkungan itu PT Newmont harus membayar miliaran dolar AS. Sejumlah pejabat perusahaan itu ditangkap, tapi cuma ditahan beberapa hari sudah dibebaskan, sekali pun perkaranya dibawa ke pengadilan.
Sementara dalam kasus Lapindo, walau pun perusahaan itu sudah berjanji akan melaksanakan keppres, pemerintah tak mepercayainya. Buktinya, penjualan saham perusahaan itu dilarang. Akibatnya, usaha untuk menyelamatkan perusahaan itu dan semua perusahaan di dalam grup Bakrie, terhadang. Padahal karena kasus itu, jelas saham perusahaan di bawah grup Bakrie, menunjukkan trend penurunan harga, dan itu butuh usaha penyelamatan. Ini menurut saya sangat memprihatinkan. Rakyat harus kita selamatkan, ganti rugi yang layak --kalau bisa dengan harga yang lebih baik-- harus diberikan. Tak bisa tidak. Tapi pemerintah tak juga bisa cuci tangan, karena PT Lapindo tak mungkin melakukan pengeboran di Sidoarjo, tanpa izin pemerintah.
Kemudian perusahaan nasional jangan kita hancurkan. Jangan ada pikiran dari pejabat kita --sekali pun dia seorang fundamentalis neoliberal-- untuk menghancurkan perusahaan nasional, agar bisa dibeli murah oleh perusahaan asing. Itu adalah penghianatan terhadap bangsa Indonesia, dan akan mendapat perlawanan dari rakyat.
Mari kita renungkan bersama.

Wassalam
Rachmad
Independent
Pemerhati Public & media
rbacakoran at yahoo dot com