Saturday, November 3, 2007

KEBIJAKAN LUAR NEGERI: BEBAS TAPI PASIF

Jakarta 4 November 2007



Entah kebijakan apalagi yang akan dilakukan oleh Malaysia kepada warga Indonesia yang berada di sana. Derita demi derita terus terjadi dengan intensitas yang semakin meningkat. Kasus Bonar dan Ceriyati telah cukup menggambarkan duka mendalam anak bangsa ini dalam upaya meraih sesuap nasi, seiring dengan kepulangan para TKI yang tinggal jenazahnya saja dengan berbagai sebab. TKI di Malaysia telah dipandang rendah oleh tuan rumahnya dengan menggunakan sebutan Indon, yang tentu saja berkonotasi rendah.
Arogansi Malaysia tidak dapat ditutupi lagi dengan kata-kata apologis. Terlebih lagi ketika kasus-kasus 'kekerasan' serupa menimpa para duta bangsa apakah itu wasit Donald Luther Colopita atau keluarga duta bangsa yang lain yang semestinya mendapatkan perlindungan dan kekebalan diplomatik. Kini muncul pula kasus batik dan lagu Rasa Sayange. Lagu Rasa Sayange yang sudah kita hafal sejak kanak kanak, kini justru menjadi lagu resmi promosi wisata Malaysia. Kerikil-kerikil dalam hubungan bilateral ini ternyata telah menyulut konflik horizontal antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Malaysia meski baru sebatas saling lempar kata melalui dunia cyber.
Menjaga persaudaraan
Memang tak bisa dipungkiri bahwa Malaysia kini telah jauh meninggalkan Indonesia, meskipun pada pascakemerdekaan, Malaysia jelas berada di belakang Indonesia dalam ranah ekonomi-politik. Keadaan telah berbalik, Malaysia melesat jauh, sementara Indonesia yang tadinya disanjung akan menjadi Macan Asia yang lain, taringnya telah tanggal satu per satu akibat krisis ekonomi dan terlembaganya korupsi. Akibatnya, kemiskinan ini telah memberikan andil mengantarkan anak-anak bangsa terpaksa hijrah sementara ke Malaysia sekadar menyambung hidup, dan rela menjadi pembantu dan buruh.
Meskipun demikian, semestinya tidak lantas sang majikan seenaknya berbuat kejam kepada pembantunya, apalagi konon kedua bangsa ini diikat dengan ikatan persaudaraan. Kemiripan etnis, nasib, agama, bahasa, serta posisi geografis yang bersebelahan menjadikan keduanya merasa sebagai saudara yang harus saling menolong. Dalam komunitas ASEAN sendiri Indonesia dianggap sebagai saudara tua. Tapi kini saudara tua itu terlalu banyak mengalah. Sementara adik-adiknya berkembang sedemikian pesatnya hingga jauh meninggalkan sang kakak. Sikap mengalah Indonesia, dimanfaatkan Malaysia untuk mengambil keuntungan, meskipun harus melupakan pranata sosial dalam hubungan persaudaraan. Ketika Indonesia jatuh dalam kesulitan, bukannya Malaysia berusaha menolongnya, melainkan memanfaatkannya. Malaysia juga bukan negara pertama yang membantu korban Gempa Bantul dan Yogyakarta. Bahkan kini warga Indonesia yang bekerja di Malaysia cenderung diperlakukan sebagai pembantu, bukan saudara.
Ironisnya, justru hubungan dua saudara ini sekarang banyak diwarnai oleh pola penganiayaan lantaran Indonesia dianggap lebih rendah sebagai sesama manusia. Merebaknya penggunaan kata Indon dan kasus kekerasan adalah salah satu wujud dari anggapan ini. Jelas hal ini bukanlah refleksi sebagai saudara.
Tampaknya, paguyuban (gemeinschaft) sebagai sokoguru dalam persaudaraan telah dibuang jauh, dan diganti dengan prinsip patembayan (gesellschaft), sebuah hubungan yang impersonal, di mana setiap masalah yang muncul diselesaikan atas dasar prisip hukum formal yang berlaku. Hubungan persaudaraan, pada sisi yang lain, menghendaki paguyuban dan penyelesaian masalah berasas pada kekeluargaan dan saling memahami.
Sikap pasif?
Bangsa ini dulunya dikenal sebagai bangsa yang besar, karena peran-peran aktif dalam berbagai fora internasional. Kebesaran namanya memang disegani dunia dengan komitmen kebijakan luar negerinya yang bebas dan aktif. Kebijakan ini tenar ketika dunia terbelah dalam dikotomi blok Barat – blok Timur. Kebijakan yang berakar pada pemikiran Muhammad Hatta 'mendayung di antara dua karang' ini adalah bentuk sikap proaktif pemimpin bangsa dalam membaca situasi internasional serta pilihan cerdas bagi bangsa untuk tidak sekadar mengekor pada tatanan internasional yang ada.
Partisipasi Indonesia dalam Peacekeeping Operation PBB serta keberhasilan Jakarta Informal Meeting sebagai upaya perdamaian di Kamboja adalah contoh menarik dari peran proaktif Indonesia. Pascakrisis ekonomi, keadaan tampaknya berbalik. Indonesia justru menjadi sasaran aktifnya negara lain. Perjanjian perdamaian Helsinki menunjukkan Indonesia belum mampu mengatasi persoalan sendiri.
Sangat berbeda jika kita membandingkan dengan perlindungan Pemimpin Libya, Mu’amar Qaddafi terhadap dua warganya dari kejaran Amerika Serikat. Meskipun kedua warganya tersebut dinyatakan bersalah telah terlibat dalam kasus pengeboman pesawat Pan Am 103 di Lockerbie tahun 1988, namum sebagai pemimpin, Qaddafi tetap melindungi warganya, meski dengan risiko Tripoli dibombardir oleh pasukan Amerika Serikat. Mirip dengan itu adalah kasus Flor Contemplacion, 1995. Contemplacion adalah seorang pembantu rumah tangga (maid) asal Filipina. Ia dituduh terlibat pembunuhan di Singapura dan akhirnya dieksekusi di Singapura. Masyarakat dan pemerintah Filipina marah besar dan hampir saja memutuskan hubungan diplomatik dengan Singapura.
Apa yang ditunjukkan Indoensia sejauh ini tampaknya tidak merefleksikan bangsa yang besar. Nuansa takut, lamban, dan terkesan administratif mewarnai sikap Indonesia. Tak ada tindakan tegas yang ditunjukkan untuk mampu meredam agresifitas para tetangga. Tak sekalipun kita berani menggertak kepada Malaysia. Dewan Perwakilan Rakyat misalnya telah menyarankan pemerintah untuk sesekali memberikan travel warning kepada Malaysia, namun sejauh ini belum ada reaksi dari pemerintah. Yang muncul justru kesan-kesan pembiaran atas berbagai kasus itu, sehingga lama kelamaan agresivitas tetangga yang kita sebut saudara itu semakin menjadi. Boleh jadi keberanian Malaysia di Ambalat adalah karena inspirasi dari kasus Sipadan Ligitan.
Memang bangsa ini sedang dililit krisis multidimensi, khususnya di dalam negeri. Namum hal ini tidak lantas membiarkan kedaulatan dan harga diri ini dicabik-cabik oleh bangsa lain. Belajar dari Sukarno, mestinya kasus-kasus seperti ini justru dapat diubah sebagai alat pemersatu bangsa. Oleh karenanya perlu perubahan paradigma dalam kebijakan luar negeri, khususnya sikap proaktif dan keberanian dalam memperjuangkan kepentingan nasional, termasuk perlindungan terhadap kekayaan dan warga negara.
Peran pemerintah perlu ditampilkan dan disosialisasikan. Publik boleh mengetahui apa saja kebijakan pemerintah terhadap hal ini. Ketidaktahuan dan kekecewaan publik terhadap kinerja pemerintah bisa saja berdampak pada 'pengambilalihan' lahan penyelesaian ini, dari pemerintah oleh masyarakat. Akibatnya, konflik horizontal akan mudah terjadi antara masyarakat Indonesia dan masyarakat Malaysia dan konflik semacam ini sangat sulit untuk dikendalikan.

Wassalam

Rachmad
Independent
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com