Sunday, November 11, 2007

Belum Terjaminnya Hak Memilih

jakarta 8 Desember 2006
Belum Terjaminnya Hak Memilih

Memasuki akhir tahun 2006 ini beberapa daerah di Indonesia sedang melaksanakan pemilihan kepala daerah, baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Saat ini misalnya tengah berlangsung tahap kampanye dalam pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Sebelumnya, rakyat di Provinsi Banten pun baru saja selesai melakukan tahapan penting dalam pilkada gubernur yaitu pemungutan suara. Hingga kini KPUD Banten masih melakukan penghitungan suara secara manual dan diharapkan selesai pekan ini. Di Provinsi Gorontalo, pilkada gubernur telah menghasilkan pemenang dengan perolehan suara mutlak.
Pilkada langsung bukan lagi fenomena aneh di negeri ini. Hingga kini sekitar empat ratusan pilkada telah digelar di seluruh penjuru negeri. Rangkaian pemilihan yang dimulai pada Juni 2005 ini telah menghasilkan para pemimpin daerah yang diharapkan dapat memimpin dengan paradigma baru. Bukan saja proses rekrutmennya melalui pemilihan langsung oleh rakyat, tetapi akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan diharapkan lebih baik dan berkualitas dari periode sebelumnya.
Mendekatkan pemerintah dengan rakyatnya adalah salah satu esensi pemilihan langsung. Ketika proses memperoleh kekuasaan politik dihadapkan pada sebuah 'pasar bebas' maka ada konsekuensi dari para kandidat untuk turun ke bawah, berkomunikasi langsung dengan konstituen, dan merasakan serta menyerap berbagai masalah yang dihadapi rakyatnya.
Itulah nilai optimisme dari penyelenggaraan pilkada langsung: Sebuah proses mereformasi cara memilih pejabat publik. Tetapi, amat disayangkan jika dalam pelaksanaan pilkada masih ditemukan kondisi belum terjaminnya hak untuk memilih. Ketika pilkada putaran pertama pada Juni-Desember 2005, persoalan masih cukup banyaknya jumlah calon pemilih yang belum terdaftar mungkin masih dapat diterima dalam kerangka persiapan yang serba mendadak.
Tetapi, ketika sudah ratusan pilkada dilaksanakan dan masalah masih adanya warga yang tidak dapat memilih karena tidak terdaftar, persoalan menjadi tidak sederhana. Adalah sulit diterima logika jika seorang pemilih terdaftar dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden tetapi justru tidak terdaftar dalam pemilihan kepala daerah.
Keanehan itulah yang terjadi pada pilkada di paruh terakhir tahun 2006 ini. Bahkan, silang pendapat soal hilangnya hak memilih ini menyulut konflik di beberapa daerah yang berujung pada tuntutan pemilihan susulan. Mendagri pun terbawa dalam polemik ini karena ditafsirkan memberi sinyal positif soal pemilihan susulan.
Apa yang terjadi pada bangsa ini jika mengurus soal pendaftaran pemilih saja tidak becus? Pengalaman bangsa ini dengan proses pemilu mungkin paling banyak di antara bangsa lain. Tetapi, untuk urusan mendasar dalam jaminan hak asasi politik warga negaranya, kita masih perlu belajar dari negara lain. Hilangnya ratusan ribu hak warga untuk memilih dalam pilkada bukanlah persoalan sederhana. Ini adalah lemahnya jaminan negara untuk memastikan setiap warga negara tidak kehilangan hak pilihnya karena kesalahan administratif dan kelalaian aparat birokrasi.
Ironisnya, di tengah rendahnya partisipasi warga dalam pilkada, hilangnya hak memilih ini dianggap sebagai 'hal biasa' yang tidak membutuhkan pengusutan serius. KPUD berkelit bahwa data pemilih bukan tanggung jawab mereka tetapi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Di sisi lain KPUD pun tidak dibekali anggaran yang memadai untuk melakukan verifikasi.
Akhirnya, pilkada terancam hanya menjadi sebuah pesta. Legitimasi kepala daerah yang terpilih memang tidak berkurang karena adanya warga tak terdaftar. Titik kritisnya bukan di situ, tetapi pada penghargaan atas hak politik warga negara yang mestinya dijamin semaksimal mungkin oleh negara. Masihkah kita mengulangi kesalahan yang sama dalam pilkada-pilkada berikutnya? Semoga saja tidak!


Wassalam
Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com