Sunday, November 11, 2007

Banjir Aceh dan Ekonomi Deforestasi

Jakarta 8 Januari 2007

Banjir Aceh dan Ekonomi Deforestasi

Banjir bandang yang menimpa Aceh pekan terakhir Desember 2006 ini sungguh memilukan. Musibah terbesar kedua di Aceh setelah tsunami Desember 2004 lalu, kini makin menyengsarakan rakyat Aceh yang belum pulih trauma psikologisnya akibat tsunami. Akibat banjir bandang tersebut 1.755 rumah hanyut, 4.537 rumah rusak berat, dan 6.287 rumah lainnya rusak ringan.
Sementara sampai Rabu (27/12) jumlah korban yang tewas tercatat 46 orang, yang hilang 164 orang, dan yang mengungsi 45.556 kepala keluarga atau sekitar 203.722 orang .Berapa jumlah korban seluruhnya, menurut Sekertaris Pelaksana Harian Satkorlak Penanggulangan Bencana Provinsi NAD, belum diketahui pasti. Namun sebuah informasi menyebutkan, jumlah korban tewas di Aceh Tamiang saja mencapai 200 orang. Jika semua korban tewas dan hilang (yang kemungkinan besar tewas) dijumlahkan, maka musibah banjir bandang ini bisa menelan korban 500-an orang.
Tragisnya banjir dan longsor ini tidak hanya terjadi di Aceh. Tapi juga di Sumatera Utara dan Riau. Di dua daerah ini, puluhan orang tewas dan ribuan orang tenggelam. Diperkirakan, bulan Januari dan Februari mendatang, ketika musim hujan mencapai puncaknya, akan makin banyak musibah banjir dan longsor di seantero Indonesia.
Sudah bukan rahasia lagi, banjir di Aceh, Sumut, dan Riau penyebab utamanya adalah deforestasi di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). TNGL yang membentang hampir di separuh Pulau Sumatera ini, kondisinya hancur akibat pembalakan liar. Musibah banjir bandang di Kali Bohorok, Langkat, Sumut, awal November 2003, yang menewaskan 200 orang lebih, juga akibat perusakan TNGL di kawasan tersebut. Rupanya peringatan alam yang berupa banjir bandang Bohorok tersebut belum membuat para pemangku kepentingan memberikan perhatian serius terhadap fungsi TNGL.
Ekonomi perusakan
Lester R Brown dalam bukunya yang terkenal The Worldwacth Reader on Global Environmental Issues (New York, 1991) menyatakan bahwa hutan sebagai gudang kehidupan yang terbesar di bumi bernilai jauh lebih mahal daripada nilai kayu gelondongannya. Karena itu, tulis Brown, meski kekayaan hutan ini dikonversi demi produksi kayu, penebangan kayu di hutan tetap tidak bisa dibenarkan secara ekonomis.
Di Amerika Serikat, misalnya, penebangan hutan telah menimbulkan kerugian dunia perikanan dan terumbu karang yang nilainya lima kali lipat dari hasil industri perkayuan tersebut. Bisnis kayu tebangan hutan di sepanjang pantai North Fork, Idaho misalnya, pada tahun 1960-an, tercatat hanya menghasilkan uang sebanyak 14 juta dolar AS. Sementara kerusakan lingkungan --berupa pendangkalan sungai, pantai, dan hancurnya terumbu karang karena erosi-- mencapai 100 juta dolar AS.
Kerugian tersebut dihitung dari menurunnnya hasil tangkapan ikan para nelayan setempat dalam waktu yang sama setelah hutan-hutan sekitar Idaho hancur. Yang menyedihkan, untuk mencapai 'pemulihan' kondisi hutan seperti semula (produksi ikan sama dengan sebelum ada penebangan hutan) dibutuhkan waktu puluhan tahun. Padahal, selama waktu pemulihan tersebut, industri kayu itu pun sudah tidak berproduksi lagi. Bila kondisi itu diperhitungkan, artinya kerugian akibat penebangan hutan terhadap perekonomian masyarakat amat besar, puluhan kali lipat dari hasil kayu tebangan hutan tadi.
Hal yang sama pernah diteliti di Filipina. Perikanan di Teluk Bacuit di dekat Palawan, Filipina menurun drastis setelah lereng-lereng gunung di wilayah hutannya digunduli. Endapan lumpur dari sungai-sungai yang berhulu di gunung yang gundul itu telah menyebabkan terumbu karang di pantai Palawan mati. Padahal terumbu karang merupakan habitat paling disukai ikan. Akibatnya hasil nelayan pun turun rastis. Ekonomi penduduk setempat pun lumpuh,
Dari gambaran itu, kita pun bisa membayangkan, berapa kerugian masyarakat akibat penebangan hutan tersebut. Sebagai bahan perbandingan, bencana banjir bandang di Aceh saat ini yang menewaskan ratusan orang dan menghancurkan ribuan rumah, apakah sebanding dengan hasil kayu yang didapat dari hutan yang digunduli tersebut? Memang belum ada data berapa nilai kerugian akibat banjir bandang itu. Yang jelas, menurut Mustoha Iskandar, Direktur Pengembangan Inhutan III, nilai ekonomi kayu satu hektare hutan alam perawan sekitar Rp 50 juta.
Dengan demikian, seandainya 600 ribu hektare hutan alam di Sumatera diambil kayunya, nilai kotor yang dihasilkan sekitar Rp 30 triliun. Nilai tersebut, kata Mustoha, belum termasuk biaya operasional. Jika dipotong biaya operasional dan modal, perolehan tersebut bisa kurang dari separuhnya atau hanya sekitar Rp 10 triliun. Dengan banyaknya pungutan di bisnis kehutanan, hasil tersebut masih terpotong separuhnya lagi. Sehingga, nilai ekonomi yang diperoleh pengusaha menjadi Rp 5 triliun.
Hanya itulah nilai ekonomi yang bisa diperoleh pengusaha atau para penebang hutan. Sekarang, kita bisa memperkiraka, berapa nilai kerusakan lingkungan akibat penggundulan hutan itu? Pertama, dari aspek biodiversitas. Berapa keanekaragaman jenis spesies (biodiversitas) yang mati dan punah akibat perusakan hutan? Hutan tropis adalah tempat hunian biodiversitas terbesar di dunia. Lebih dari 60 persen biodiversitas di muka bumi berada di hutan tropis.
Kedua, penebangan hutan akan menimbulkan erosi dan sedimentasi di sungai yang mata airnya berada di hutan tersebut. Selanjutnya, erosi dan sedimentasi tadi akan mengotori laut dan merusak ekosistemnya, terutama terumbu karang yang amat sensitif terhadap polusi. Rusaknya terumbu karang ini akan sangat berpengaruh pada kehidupan ikan di laut. Ketiga, hancurnya hutan juga dapat memacu pemanasan suhu bumi. Hutan tropis Indonesia sudah ditetapkan PBB sebagai paru-paru bumi. Keempat kerusakan hutan telah menyebabkan banjir dan longsor yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang amat besar.


Wassalam

Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com