Sunday, November 11, 2007

Misi Rahasia Bush

jakarta 15 November 2006


Misi Rahasia Bush


Rencana kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS), George W Bush, ke Indonesia menjadi isu paling disorot. Padahal, orang nomor wahid di AS itu baru akan mendarat di Indonesia pada 20 Nopember mendatang. Media massa --cetak maupun elektronika-- sibuk mengulasnya. Demonstrasi bergema di mana-mana menentang kedatangan Bush. Bahkan mantan wakil presiden, Hamzah Haz, ketua MPR RI, serta sejumlah elite DPR , termasuk sebagian besar tokoh ormas Islam lainnya sangat keberatan dengan kedatangan Bush. Apalagi, pengamanan terhadap Bush tampak berlebihan.
Seperti dilansir sejumlah media massa, pengamanan terhadap kunjungan Presiden Bush langsung berada di bawah koordinasi Mabes TNI dengan Panglima Kodam Jaya sebagai pengendali operasi pengamanan. Polda Metro Jaya pun ikut sibuk. Sekitar 18 ribu personel terdiri dari Brimob, Sabhara, Serse, Intel ditambah penembak jitu (sniper) akan dikerahkan untuk mengamankan orang nomor satu di AS itu.
Itu belum termasuk kebiasaan Mr Bush yang di setiap kunjungan kenegaraan selalu melibatkan sedikitnya 250 agen rahasia (CIA), 150 penasihat keamanan nasional, 15 tim anjing pelacak, kendaraan bersenjata dan sejumlah pesawat serta helikopter tempur. Pertemuan antara Presiden Bush dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berlangsung di Istana Bogor.
Jika kita mau jujur, kedatangan Bush ke kota hujan ini terasa amat merepotkan. Lingkungan Istana Bogor yang menjadi lokasi kunjungan Bush, misalnya, berubah super sibuk. Dua helipad disiapkan untuk mendaratnya helikopter yang akan membawa Presiden Bush. Jaringan telepon seluler di sekitar istana juga bakal diputus selama 10 jam. Kebun Raya Bogor yang menyatu dengan Istana Bogor dan dibangun pada 18 Mei 1817 itu tak lagi rimbun. Daun 10 bunga teratai raksasa Victoria Amazone berukuran satu meter yang sangat langka pun terpaksa dibabat. Wajar, jika DPP PDI Perjuangan sampai berkirim surat protes keras kepada Presiden SBY karena mengorbankan konservasi lingkungan hanya demi kepentingan politik.
Misi rahasia
Pertanyaan besar yang layak diajukan adalah: untuk apa Bush ke Indonesia? Selama ini pemerintahan SBY selalu menegaskan pada pembahasan enam hal. Yakni, investasi AS di Indonesia yang kini meliputi 205 proyek, utamanya bidang energi; keamanan suplai energi; pendidikan; kesehatan; sistim peringatan dini; dan teknologi informasi. Tetapi, dalam hemat penulis, Presiden Bush sebenarnya tengah membawa setumpuk misi rahasia sebagai berikut:
Pertama, kontraterorisme. Seperti kunjungan Menlu AS Condoleezza Rice (14 Maret 2006) dan Menhan AS Rumsfeld (6 Juni 2006), Bush bertandang ke Istana Bogor pastilah untuk meminta keseriusan SBY dalam memerangi terorisme. Selain Pakistan, Afghanistan, Suriah, Yaman, Iran dan Arab Saudi, Indonesia memang divonis AS sebagai 'markas fundamentalis, ekstremis dan teroris'.
Serangkaian aksi teror dari bom Bali I (12 Oktober 2002), bom Marriott (5 Agustus 2003), bom Kuningan (9 September 2004) hingga bom Bali II (1 Oktober 2005) diklaim dilakukan oleh sekelompok orang yang terkait langsung dengan sel-sel Alqaidah baik di kawasan Timur Tengah maupun Asia Selatan. Jakarta makin terjepit posisinya untuk mengelak dari war on global terrorism yang dipimpin Washington. Apalagi, gertakan Bush beberapa hari pascaambruknya Gedung WTC (11 September 2001) sangat jelas bagi semua negara, termasuk Indonesia, yaitu either you side with us or with terrorists (mendukung kami atau memihak teroris).
Proaktif menjegal Cina
Kedua, containment of China (membendung pengaruh Cina). Kunjungan Presiden SBY ke Cina 27-31 Oktober 2006 tentu saja meresahkan AS. Bagi Indonesia, penandatanganan kontrak kerja sama energi Jakarta-Beijing senilai 4 miliar dolar AS (Rp 38,6 triliun) jelas menguntungkan. Itu belum termasuk kesepakatan Presiden SBY dan Presiden Cina, Hu Jintao, untuk menaikkan volume perdagangan RI-Cina sampai 20 miliar dolar AS di tahun 2008 mendatang. Pertumbuhan ekonomi negeri tirai bambu sebesar 9,1 persen tak diragukan mencemaskan AS.
Status Paman Sam sebagai negara terkuat baik secara militer maupun ekonomi bisa terancam. Tak salah bila Joseph Nye, analis kondang Harvard University, dalam tulisannya (Journal of Foreign Affairs, 2004) misalnya, menyebut Cina sebagai strategic competitor (pesaing strategis), bukan strategic partner (mitra strategis). Prediksi Nye amat sesuai dengan Letjen ZA Maulani (kini almarhum) dalam bukunya 'Jamaah Islamiyyah & China policy” (Jakarta: Daseta, 2004).
Mantan kepala Bakin di era pemerintahan BJ Habibie ini membeberkan ambisi Beijing memimpin Asia-Pasifik. Posisi Cina dalam mempersatukan negara-negara Asia Tengah di bawah payung Shanghai Cooperation Organization (22 September 2003) juga membuat impian Washington menyedot minyak Asia Tengah makin sulit terwujud. Bahkan, anggaran pertahanan Cina sebesar Rp 560 triliun menempatkan Beijing di urutan ketiga dunia setelah AS dan Rusia. Karenanya, Bush sangat berkepentingan agar Indonesia proaktif dalam menjegal kemunculan Cina sebagai raksasa ekonomi dan militer di kawasan Asia-Pasifik.
Ketiga, meminta dukungan RI soal Iran. Bush nampaknya ingin agar posisi Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB mendukung kebijakan AS untuk menggelar mesin perang terhadap Teheran. Jika pemerintah SBY mengaminkan keinginan Washington, maka negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia ini diharapkan Bush dapat meminimalisir kemarahan komunitas Muslim Timur Tengah.
Setelah Afghanistan dihujani bom (7 oktober 2001) dan Irak digempur (20 Maret 2003), perang membasmi jaringan Alqaidah dan membombardir stated-sponsored terrorism (negara pendukung aksi teror) dinilai Gedung Putih belum usai. Iran --negara yang diklaim AS sebagai bagian dari poros kejahatan atau axis of evil sejak 1 Januari 2002-- diperkirakan target lanjutan rudal-rudal militer AS dan sekutunya. Terlebih, Pemerintah Presiden Mahmoud Ahmadinejad masih bersikeras melanjutkan program pengayaan uraniumnya (baca: nuklir) meski Uni Eropa menawarkan bantuan ekonomi bila Iran menghentikannya.
Bush mungkin akan menyodorkan bukti-bukti keberadaan weapons of mass destruction (senjata pemusnah massal) Iran agar Presiden SBY tidak ragu berada di sisi Amerika. Walhasil, pemerintahan SBY perlu lebih bersikap waspada dan hati-hati dalam mengantisipasi agenda menyesatkan yang diusung Bush. Apabila Pemerintah SBY tak lagi merasa memiliki harga diri dan wibawa, maka sejarah akan mencatat bahwa negeri ini memang tidak berdaulat (sovereign) dan yang lebih menyedihkan lagi tentunya 'miskin pemimpin yang tangguh'. Menurut penulis dan juga mungkin Anda, Presiden SBY, juga para pemimpin setelahnya, seyogianya 'mampu' bersikap tegas seperti almarhum Soekarno yang berani berteriak 'Amerika kita seterika, Inggris kita linggis'. Semoga!


Wassalam
Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com