Saturday, November 10, 2007

Dari Alternatif Menjadi Suatu Keharusan

Jakarta 1 Oktober 2006

Dari Alternatif Menjadi Suatu Keharusan

Sungguh sangat memprihatinkan melihat perjalanan bangsa yang sudah berusia 61 tahun, semakin dilanda berbagai persoalan yang sangat berat dan kompleks. Persoalan kepemimpinan, kemiskinan, kebodohan, dekadensi moral, dan kesenjangan yang semakin melebar antara orang kaya dan orang miskin, antara pejabat dan rakyat.
Kita yakin kondisi itu terjadi, di samping karena salah urus, juga karena kesalahan sistem yang dipergunakan, yaitu sistem kapitalis yang mengabaikan norma dan nilai, serta selalu berorientasi pada kepentingan pemilik modal. Hal ini sejalan dengan pendapat para pakar ekonomi seperti Fritjop Chapra dalam bukunya, The Turning Point, Science, Society and The Rising Culture (terj. 1999) dan Ervin Laszio dalam 3rd Milinium, Tehe Challenge and The Vision (terj. 1999) yang banyak mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama rasionalitas ekonomi yang telah mengabaikan nilai dan moralitas.
Menurut mereka, kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara dan masyarakat miskin dengan negara-negara dan masyarakat kaya.
Hal tersebut dibuktikan pula dengan hasil penelitian lembaga the New Economics Foundation (NEF) Inggris tentang hubungan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan proporsi atau share dari pertumbuhan tersebut yang dinikmati oleh kaum miskin. Mereka menemukan bahwa pada dekade 1980-an, dari setiap kenaikan 100 dolar AS pendapatan per kapita dunia, maka kaum miskin hanya menikmati 2,2 dolar AS, atau sekitar 2,2 persen. Artinya 97,8 persen lainnya dinikmati oleh orang-orang kaya.
Kemudian pada kurun waktu tahun 1990 hingga 2001, kesenjangan tersebut semakin menjadi-jadi. Setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 100 dolar AS, maka persentase yang dinikmati oleh orang-orang miskin hanya 60 sen saja, atau sekitar 0,6 persen. Sedangkan sisanya, yaitu 99,4 persen, dinikmati oleh kelompok kaya dunia. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan share kelompok miskin sebesar 73 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perekonomian dunia saat ini cenderung bergerak kepada ketidakseimbangan penguasaan aset dan sumber daya ekonomi, yang menjadikan kelompok kaya menjadi semakin kaya, dan kelompok miskin semakin miskin.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Tim Indonesia Bangkit angka kemiskinan mengalami peningkatan dari 16 persen pada Februari 2005 menjadi 18,7 persen per-Juli 2005 hingga 22 persen per-Maret 2006. Di sisi lain, pemerintah kita belum bia melepaskan diri dari utang luar negeri berbasis bunga (baca: rente), sehingga utang menjadi sumber utama pembiayaan APBN. Padahal utang yang berbasis bunga itu akan berlipat ganda secara terus-menerus, sehingga Indonesia akan selalu terjerat pada pembayaran bunga yang terus-menerus meningkat. Kondisi ini persis seperti yang digambarkan oleh Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 275: "Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."
Karena itu, menurut para pakar ekonomi tersebut di atas, bahwa untuk memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain, kecuali mengubah paradigma dan visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban (M. Yasir Nasution, 2002), dalam arti membangun dan mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa dipertanggungjawabkan.
Ekonomi Syari'ah: Menjadi Keharusan
Perbedaan yang mendasar antara ekonomi konvensional (baca: ekonomi kapitalis) dengan ekonomi syari'ah (Islam) adalah pada landasan filosofinya dan asumsi-asumsinya tentang manusia. Ekonomi Islam dibangun atas empat landasan filosifis yaitu: tauhid, keadilan, (keseimbangan), kebebasan, dan pertanggungjawaban. (Adiwarman Karim, 2001). Tauhid dalam hal ini berarti bahwa semua yang ada merupakan ciptaan dan milik Allah SWT dan hanya Dia yang mengatur segala sesuatunya, termasuk mekanisme hubungan antarmanusia, perolehan rezeki, dan lain sebagainya (rububiyyah). Oleh sebab itu manusia harus mengikuti segala ketentuan Allah SWT dalam segala aktivitasnya, termasuk aktivitas ekonomi. Ketentuan Allah SWT yang harus dipatuhi dalam hal ini tidak hanya bersifat mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial, akan tetapi juga bersifat etis dan moral (uluhiyyah).
Keadilan dan keseimbangan ditegaskan dalam banyak ayat suci Alquran sebagai dasar kesejahteraan hidup manusia. Oleh sebab itu seluruh kebijakan dan kegiatan ekonomi harus dilandasi paham keadilan dan keseimbangan. Sistem ekonomi haruslah secara intrinsik membawa keadilan dan keseimbangan. Dalam ekonomi Islam misalnya, pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua dari satu entitas. Pada tingkat teknis, hal ini misalnya tampak pada praktik mudharabah (lost and profit sharing) di mana pemilik modal dan pekerja ditempatkan pada posisi yang sejajar dan adil.
Kebebasan mengandung pengertian bahwa manusia bebas melakukan seluruh aktivitas ekonomi sepanjang tidak ada ketentuan Allah yang melarangnya. Ini menunjukkan bahwa inovasi dan kreativitas dalam ekonomi adalah suatu keharusan.
Pertanggungjawaban memiliki arti bahwa manusia sebagai pemegang amanah memikul tanggungjawab atas segala putusannya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kebebasan memilih berbagai alternatif yang ada di hadapannya. Pada gilirannya ia harus bertanggungjawab kepada Allah SWT (M. Yasir Nasution, 2002).
Keempat landasan filosofis ini selanjutnya membawa perbedaan-perbedaan lainnya pada asumsi dan hal-hal yang bersifat teknis. Dari landasan tauhid misalnya, asumsi tentang manusia akan berbeda dengan asumsi ekonomi konvensional. Manusia dipandang sebagai makhluk yang pada kodratnya mempunyai kasih sayang, manusia akan merasa senang memberi bantuan kepada orang lain (altruisme). Karena itu kebijakan ekonomi dan teknis operasional lembaga ekonomi seharusnya merangsang orang untuk menumbuhkan fitrah kebaikannya itu. Konsep fitrah akan melahirkan contributive (ta'awun dan takaful) menggantikan sikap exploitative.
Tampak bahwa hal yang paling menjadi perhatian para ahli ekonomi Islam adalah pada dimensi filosofis dan nilai. Bertolak pada dimensi filosofis dan nilai Islam, mereka mencoba untuk merumuskan dimensi-dimensi teori dan teknis. Konsep kebutuhan dasar dan arah pembangunan misalnya, mereka rumuskan berdasarkan maqasid al-Syari'ah (tujuan-tujuan syari'at Islam) yang ditulis oleh al-Syathibi dan juga al-Ghazali dengan tetap meminjam instrumen pengukuran dan pengujian ilmu ekonomi konvensional. Demikan juga halnya dengan sistem moneter.
Karena itu, sudah waktunya seluruh komponen bangsa harus memiliki keyakinan yang kuat, bahwa persoalan sosial kemasyarakatan dan terutama persoalan ekonomi tidak bisa tidak harus berdasarkan pada kaidah-kaidah ajaran Islam. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS. Ar-Rum: 30: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." Wallahu A'lam bi ash-Shawab.


Wassalam

Rachmad
Independent
rbacakoran at yahoo dot com