Saturday, November 10, 2007

DETIK-DETIK YANG MENENTUKAN: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi

jakarta 26/9/2006

DETIK-DETIK YANG MENENTUKAN:
Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi


Habibie Menguak Misteri
Penulis: Bacharuddin Jusuf Habibie
Penerbit: THC Mandiri jl.Kemang Selatan No.98, Jakarta.
tel (021) 7817211
fax (021)7817212
Cetakan: pertama, September 2006, vi + 549 halaman
ISBN: 979-99386-6-X


Masih dengan kehangatannya yang khas, Prof. Dr. Bacharuddin Jusuf (B.J.) Habibie mengundang sejumlah wartawan senior ke kediamannya di Patra Kuningan, Jakarta, Sabtu siang lalu. Didampingi istrinya, Ainun Habibie, presiden ketiga RI itu tampak sehat dan bersemangat menyapa para tamu.
Rupanya, siang itu Habibie, pria kelahiran Parepare, 25 Juni 1936, punya gawe memperkenalkan memoarnya.

B.J. Habibie mengaku menulis sendiri memoarnya. "Semua berdasarkan catatan yang ada pada saya. Tak ada hal yang saya tulis berdasarkan katanya... katanya," ujar ayah dua putra itu. Fokusnya adalah bagaimana ia mengambil peran di saat-saat genting menjelang peralihan kekuasaan 1998 dan bagaimana
pula ia mengemban misi selaku presiden ketiga RI.

Memoar itu terbit tujuh tahun setelah ia melepas jabatan presiden dan ketika usianya memasuki 70 tahun. Ia menunggu gejolak mereda hingga memoarnya tidak perlu memantik kontroversi politik. Dengan begitu, apa yang ia ungkapkan
bisa diterima dengan pikiran lebih jernih.

Silaturahmi yang Putus
Habibie memulai memoarnya dengan membuka catatan hariannya pada 20 Mei 1998.
Ia kaget ketika pukul 10 malam menerima telepon dari sekretaris kabinet yang memberitahu bahwa Presiden Soeharto akan mundur dari jabatan esok harinya. Padahal, malam sebelumnya, ia bertemu Pak Harto di Cendana, membahas susunan kabinet baru yang sedianya diumumkan pada 23 Mei di Istana Negara, di depan
pimpinan MPR/DPR. Rupanya, situasi itu berubah cepat.

Pengunduran diri Pak Harto di luar rencana itu sendiri menyisakan pertanyaan di benak Habibie. Apa sebenarnya yang dikehendaki Pak Harto? Apakah ia diharapkan juga undur diri, mengingat pernyataan di depan sejumlah tokoh masyarakat pada 19 Mei, Pak Harto terkesan meragukan kemampuannya?
Yang pasti, tali silaturahminya dengan Pak Harto, orang yang dihormatinya itu, terputus sejak 21 Mei 1998. Hanya sekali komunikasi terjalin. Itu pun melalui telepon, yakni 8 Juni 1998 di hari ulang tahun ke-77 Pak Harto.
Lewat berbagai jalur, ia berkali-kali berusaha menemui mantan orang nomor satu di Indonesia itu, tapi hasilnya nihil.
Malah, ketika Pak Harto terserang stroke pertama, September 1999, dia tak diperkenankan menjenguk oleh para dokter yang merawat Pak Harto.

Mengenai hal itu, Habibie menulis, "... pertanyaan yang tetap tak terjawab sampai sekarang ini ialah, mengapa Pak Harto tidak bersedia bertemu atau berkomunikasi dengan saya sampai saat ini? Menghadapi kenyataan sikap Pak Harto yang seolah 'misterius' itu, saya yakin bahwa Pak Harto punya alasan tersendiri dan mungkin beranggapan sebaiknya biarlah saya tidak mengetahuinya."

Yang lebih menyakitkan, menurut Habibie, adalah sikap Pak Harto pada 21 Mei pagi. Ketika itu, ia telah dijanjikan bertemu. Namun, saat ia tiba di istana, protokol telah mengagendakan pertemuan pertama Pak Harto dengan pejabat negara lain. Habibie kecewa. Tapi ia hanya bisa menunggu, meski merasa kecewa, terhina, dan merasa diperlakukan tidak adil. Karena lama tak dipanggil, ia memberanikan diri menuju Ruang Jepara. "Namun, baru saja saya
berada di depan pintu, tiba-tiba pintu terbuka, lalu protokol mengumumkan bahwa presiden akan memasuki ruang upacara," tulisnya.

Habibie juga tercengang, Pak Harto melewatinya begitu saja tanpa sapaan apa pun --hal yang disebut melecehkan keberadaannya di depan semua yang hadir. "Betapa sedih perasaan saya saat itu. Saya hanya melangkah ke ruang upacara mendampingi Presiden Soeharto, seseorang yang saya sangat hormati, cintai, dan kagumi, yang ternyata menganggap saya seperti tidak ada," tulis dia lagi.

Pemilu 48 Partai
Seperti dicatat dalam sejarah, pagi itu Presiden Soeharto menyatakan mundur, dan Habibie diambil sumpahnya sebagai presiden baru. Segera setelah iitu, berbagai pernyataan negatif tentang kepemimpinannya bermunculan. Bukan saja dari dalam, juga dari luar negeri. Pemberitaan pers yang mengutip pernyataan tokoh-tokoh politik yang berseberangan dengannya kerap di rasakannya menyakitkan hati.

Tak kurang dari tokoh Lee Kuan Yew, Menteri Senior Singapura, secara terbuka meragukan kemampuannya. Dari dalam negeri, sejumlah tokoh politik senior dan purnawirawan ABRI yang tergabung dalam Barisan Nasional bahkan disebut seperti melakukan character assassination atas dirinya. Kelompok itu,
tulisnya, dipelopori Letjen (purnawirawan) Kemal Idris dan Rachmat Witoelar.

Habibie menghadapi berbagai pernyataan minor itu dengan lapang dada. Habibie punya pendirian sendiri yang ia pegang teguh.
"Saya berpendapat bahwa berpolemik dengan mereka yang sehaluan dengan Senior Minister Lee Kuan Yew akan lebih merugikan bangsa dan negara. Satu-satunya cara menghadapinya adalah dengan karya nyata yang membuktikan bahwa mereka keliru," tulis Habibie pula.

Belakangan, Lee Kuan Yew meralat sikapnya. Itu diketahui Habibie dari surat yang dilayangkan sang menteri senior itu lewat Menteri Negara BUMN Tanri Abeng. Lee mengucapkan selamat atas keberhasilan B.J. Habibie menghentikan jatuh bebasnya mata uang rupiah terhadap dolar dan kemampuan pemerintahannya menekan inflasi.

Dalam buku ini pun terungkap sikap Habibie saat menghadapi tekanan dari berbagai pihak, baik politisi maupun kalangan militer. Ia, misalnya, pernah didesak agar menggelar pemilihan umum dalam waktu tiga bulan. Habibie menolak dengan pendirian, tak adil bila pemilu digelar sebelum rakyat diberi kesempatan membentuk partai-partai yang akan membawa aspirasi dan wawasan baru.
Habibie tegas menjawab bahwa pemilu baru bisa dilakukan satu tahun ke depan. Pembentukan partai-partai baru membutuhkan waktu. Demikian pula upaya untuk memasyarakatkan aspirasi dan wawasannya. Seperti diketahui, Pemilihan Umum 1999 kemudian diikuti tak kurang dari 48 partai.

Pemilihan umum multipartai memang menjadi agenda politik yang dirancang Habibie sejak malam hari setelah dilantik menjadi presiden. Ia begitu sadar bahwa keran demokrasi harus dibuka lebar-lebar. Kebebasan mengeluarkan
pendapat, kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berunjuk rasa harus segera dilaksanakan. Itu salah satu dari 11 butir pemikirannya pada malam itu.

Ketika menyusun kabinet pada 22 Mei, ia menerima surat dari Jenderal Besar A.H. Nasution. Dalam surat yang dibawa dua perwira tinggi Angkatan Darat itu, Nasution menyarankan agar Habibie mengangkat Jenderal Subagyo H.S. menjadi Panglima ABRI (Pangab) dan Letjen Prabowo Subianto sebagai KSAD.
Tapi Habibie bergeming. Ia tetap mempertahankan Jenderal Wiranto di posisi Pangab.
Ihwal Wiranto, Habibie tak menyembunyikan kesan baiknya terhadap jenderal ini. Ia menilai Wiranto sebagai sosok yang beretika dan bisa dipercaya. Kesan itu muncul kuat saat Wiranto secara terbuka memperlihatkan instruksi presiden inpres yang diterimanya dari Pak Harto sebelum lengser.

Isinya, memberi kewenangan kepada jenderal itu untuk bertindak dalam keadaan darurat. Ya, sebut saja semacam Supersemar seperti yang diterima Pak Harto dahulu. Habibie pun menyuruh Wiranto menyimpan saja dokumen itu. Ia menilai, bisa saja Wiranto mengerahkan pasukan untuk merebut kekuasaan, tapi itu tak dilakukannya.

Yang tak kalah menarik adalah uraian Habibie yang tampak meluruskan isu-isu seputar "ancaman" Prabowo yang sempat berkembang di masyarakat. Menurut kabar burung yang beredar, Prabowo sambil membawa senjata mendatangi Habibie untuk meminta jabatan Pangab. Ternyata, isu itu tidak benar sama sekali.
Habibie bertutur, pada pagi hari 22 Mei, ia mendapat kabar tentang adanya gerakan pasukan Kostrad ke Jakarta. Ia menilai, pengerahan pasukan ini berada di luar pengetahuan dan koordinasi Pangab. Lalu ia meminta Wiranto segera mengganti Pangkostrad, yang ketika itu dijabat Prabowo, hari itu juga.
Rupanya, Prabowo tidak bisa menerima pencopotan dirinya. Ia pun datang ke istana dan menemui Habibie setelah makan siang. Menurut Habibie, Prabowo sama sekali tak membawa senjata. Dalam dialog itu terungkap, Prabowo ternyata berniat mengamankan presiden dan meminta pencopotannya diralat.
Habibie bertahan pada pendiriannya. Ia juga seperti memaklumi sikap kritis Prabowo yang dinilainya dibesarkan dalam lingkungan intelektual dan rasional.Habibie mengungkap pula bagaimana lobinya kepada Pemerintah Jerman sangat membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Terutama kesediaan Kanselir Helmut Kohl mengutus pakar bank sentral Jerman untuk ikut membenahi perangkat lunak Bank Indonesia. Setidaknya, ia menyebut peran dua nama: Helmut Schlesinger dan Wolfgang Kartte.

Bagaimanapun, buku ini memberi banyak informasi tentang apa yang dilakukan Habibie selama menjadi orang nomor satu di negeri ini. Banyak terobosan yang dilakukannya. Begitu pula tampak sikapnya sebagai seorang demokrat yang memelopori pembukaan keran demokratisasi bagi bangsa ini. "Sebagai pemimpin, kita baru bisa disebut berhasil kalau generasi sesudah kita berkarya lebih
baik dari kita," ujarnya ketika mengantar pelepasan memoarnya.


Dari Buku Bacharuddin Jusuf Habibie
Timtim Lepas, Dianugerahi "Bapak Disintegrasi"

Mantan Presiden BJ Habibie memberi penjelasan tentang buku karyanya kepada sejumlah pimpinan dan perwakilan media massa serta tokoh pers nasional di Jakarta, belum lama ini.
SEBAGAI orang yang ingin memperjuangkan demokrasi dan HAM, Habibie sangat tidak ingin menerapkan standar ganda. Hal ini juga yang diterapkannya saat mengatasi permasalahan Timor Timur yang pada akhirnya Provinsi ke-27 tersebut lepas dari pangkuan Bumi Pertiwi lewat referendum.

Menurut Habibie, pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan
kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Sudah saatnya Indonesia secara jujur melihat Timor Timur yang semula memang di luar NKRI hasil Proklamasi 17 Agustus 1945.

Walaupun integrasi Timor Timur sudah dikukuhkan melalui Tap MPR No VI/MPR/1978 berdasarkan keinginan rakyat Timtim sendiri, namun melekatnya Timtim dengan Indonesia masih selalu menjadi duri dalam daging di kancah hubungan internasional.
Bentuknya adalah tidak pernah mendapatkan pengakuan internasional secara utuh. Hal itu sangat merugikan Indonesia, padahal di sisi lain Pemerintah RI beserta seluruh rakyatnya telah memberikan yang terbaik bagi provinsi termuda tersebut.
Pemerintah telah membantu 93% APBD Timtim (hanya 7% yang dari PAD Timtim) diambilkan dari APBN. Artinya, pemerintah telah menyumbangkan anggaran tahunan kepada Timtim berlipat-lipat melebihi provinsi yang lain.

Saat menjabat sebagai presiden, Habibie mewarisi kondisi Indonesia dilanda multikrisis terutama ekonomi, yang tentunya semakin berat bila dibebani dengan masalah Timtim.
Setelah mempertimbangkan masukan dari Sekjen PBB Kofi Annan, PM Inggris Tony Blair, Presiden Afsel Nelson Mandela, dan PM Australia John Howard, akhirnya Habibie menyimpulkan perlunya dilakukan jajak pendapat.
Untuk mengamankan proses yang demokratis tersebut perlu diberlakukan darurat militer, mengingat pascareformasi suhu politik meningkat di Timtim.
Kofi Annan pun bisa menerima jajak pendapat yang diiringi darurat
militer tersebut. Selain itu Annan dan Habibie juga sepakat bahwa hasil jajak pendapat baru akan diumumkan 72 jam setelah hasilnya diketahui.
Menurut rencana, hasil jajak pendapat baru diketahui pada 4 September 1999, yang berarti pengumumannya akan dilakukan pada 7 September.Pada 4 September, Annan menelepon Habibie untuk menginformasikan hasil jajak pendapat yaitu hanya 21,5% rakyat Timtim yang menerima otonomi khusus, sedangkan 78,5% lainnya menolak dan memilih lepas dari NKRI.

Entah mengapa konferensi pers dilakukan PBB pada 4 September. Hal itu membuat Pemerintah RI kewalahan menghadapi euforia ataupun reaksi pro dan kontra terhadap hasil jajak pendapat. Walaupun sehari setelah itu ditetapkan darurat militer, namun kerusuhan dan pembakaran terjadi di kota-kota besar di Timtim.
Terjadi eksodus pengungsi yang hingga kini masih tersisa di NTT.
Habibie juga menjadi sasaran tembak para lawan politiknya. Habibie bahkan digelari sebagai ''Bapak Disintegrasi Bangsa''. Masalah itu berujung dengan ditolaknya laporan pertanggung jawabannya oleh MPR. Polemik berkepanjangan berkaitan dengan lepasnya Timtim mereda setelah MPR mengeluarkan Tap No V/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 yang mengakui pemisahan Timtim dari NKRI.

Kasus Soeharto
Putusnya hubungan dengan Soeharto pascalengser pada 21 Mei 1998, dirasa terus mengganggu Habibie. Habibie berusaha mencairkan hubungan yang tidak enak ini dengan terus berupaya menghubungi Soeharto.Setelah menempuh berbagai cara barulah pada 9 Juni 1998 (sehari setelah ultah Soeharto ke-77) Habibie bisa berbicara via telepon dengan Soeharto.
Dalam teleponnya Habibie meminta waktu untuk bertemu guna mendapatkan penjelasan dan saran atas keadaan yang multikompleks saat itu. Namun Soeharto tetap menolak.
''Tidak menguntungkan bagi keadaan sekarang jikalau saya bertemu dengan Habibie. Laksanakan tugasmu dengan baik, saya hanya dapat melaksanakan tugas sampai di sini saja, saya sudah tua,'' kata Soeharto saat itu.
Soeharto bahkan mendoakan Habibie dan mengatakan akan bertemu secara batin dengannya.
Habibie mengaku, mengalami dilema saat berhadapan dengan Soeharto. Di satu sisi Pak Harto adalah gurunya, orang yang paling dihormatinya. Namun di sisi lain begitu banyak teriakan dari berbagai kalangan untuk memproses hukum Soeharto dan kroninya berdasarkan tuduhan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Namun yang ada dalam benak Habibie adalah ingin menyelesaikan masalah ini secara bijaksana, namun tetap profesional.

Karena itu, dia mengumpulkan para pakar hukum di kediamannya di
Kuningan. Dari pertemuan itu berkembang pemikiran tiga cara penyelesaian kasus Soeharto. Pertama secara politis. Kedua, kombinasi yuridis-politis dan ketiga murni yuridis.
Lalu pada saat proses hukum bergulir Soeharto sakit. Pak Harto
diperiksa oleh tim dokter pribadi serta tim dokter independen yang dibentuk Kejaksaan Agung.Oleh tim dokter independen Soeharto dinyatakan mengalami gangguan memori otaknya. Dengan demikian sangat sulit untuk dihadapkan ke muka sidang.

Dari laporan ini Habibie mengajukan usul agar kasus Soeharto dideponir saja. Usulan tersebut didiskusikan para pakar yang diundang Habibie.Maka, tercapailah kesimpulan bijaksana bahwa untuk kasus Soeharto diselesaikan dengan dikeluarkannya SP3 oleh Jaksa Agung yang dalam hal ini Pjs Jaksa Agung Ismudjoko SH.

Kebijakan ini kembali dijadikan lawan politik Habibie untuk menyerangnya lagi dengan berbagai tuduhan seperti gamang atau takut dengan Pak Harto dan tidak konsisten dengan amanat untuk memberantas KKN.
Lagi-lagi persoalan itu terbawa ke laporan pertanggungjawaban di muka Sidang Umum MPR. Namun Habibie konsisten dan bijaksana dalam menghadapi serangan yang dilakukan lawan-lawan politiknya. Dengan jiwa besar Habibie menyatakan tidak mencalonkan diri menjadi presiden begitu laporan
pertanggungjawabannya ditolak MPR.
Walaupun tidak ada aturan yang mengharuskan seorang presiden tidak boleh mencalonkan diri begitu laporan pertanggungjawabannya ditolak, Habibie dengan polos ingin menjaga etika dalam berdemokrasi yang tengah dia perjuangkan setelah sekian lama rakyat di bawah represi Orba.

Dia membuang jauh perbuatan menghalalkan segala cara untuk
mempertahankan kekuasaan, walaupun sebagai presiden dia mempunyai peluang untuk itu.
Di sinilah letak kebesaran seorang Habibie. Buku setebal 549 halaman ini memang berpotensi menimbulkan pro dan kontra dari para pelaku sejarah yang digambarkan secara subjektif oleh Habibie selaku penulis.
Juga sebelum buku ini diluncurkan, sudah banyak buku-buku dari para pelaku sejarah saat transisi dari Soeharto ke Habibie. Semoga buku ini akan memperkaya wawasan sejarah kita dan akan membuka kajian serta diskusi yang diharapkan dapat menghadirkan pemaparan sejarah yang lebih mendekati objektif.


wassalam

rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com