Saturday, November 10, 2007

Desentralisasi di Indonesia: keanekaragaman dalam kesatuan

Desentralisasi di Indonesia:
keanekaragaman dalam kesatuan
Seiring bergaungnya tuntutan otonomi daerah di Indonesia terutama sejak 1998, saat ini perkembangan otonomi daerah maju sangat pesat. Dimulai dengan pembentukan UU NO. 22/1999 tentang Pemerintahan daerah sebagai pengganti UU No. 5/1974, isu otonomi daerah terus bergulir tidak saja isu tentang penyerahan wewenang kepada daerah, tetapi juga menyangkut berbagai isu lain seperti pemekaran wilayah, pemilihan kepala daerah serta pembagian keuangan antara pusat dan daerah.
Dinamika otonomi daerah terus berlanjut yang pada gilirannya membutuhkan sebuah aturan yang mampu menampung berbagai tuntutan masyarakat tersebut. Oleh karena itu kemudian lahirlah UU NO 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memuat berbagai hal mulai dari Pembentukan daerah dan Kawasan Khusus; Pembagian Urusan Pemerintahan; Pemerintahan Daerah; perangkat daerah; Keuangan daerah; Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala daerah; Kepengawaian daerah; Pembinaan dan Pengawasan ; Desa ; serta masalah Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Hadirnya aturan tentang permerintahan daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Selain itu diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokratis, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan tujuan yang begitu baik tersebut, seharusnya hadirnya UU No 32/2004 tentang Pemerintaan Daerah dapat mempercepat terealisasinya berbagai hal diatas. Meskipun disadari bahwa setiap produk undang-undang tidak akan lepas dari kekurangan ketika menghadapai permasalahan baru yang sebelumnya tidak terjadi.
Implementasi UU No. 32/2004
Dalam substansi pasal-pasal UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat beberapa poin yang menjadi perhatian.
Dimulai dari dasar filosofinya, UU No 32/2004 ini tetap menganut "Keanekaragaman dalam Kesatuan".
Artinya bahwa UU ini mengakui adanya perbedaan antar daerah sehingga dalam implementasinya tetap menghargai perbedaan sepanjang dalam kerangka Negara Kesatuan. Terhadap pembagian satuan Pemerintahan, UU NO 32/2004 menggunakan pendekatan besaran dan isi otonomi (size and content approach) dengan menekankan pada pembagian urusan yang berkesinambungan, asas eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Selanjutnya tentang asas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, UU No 32/2004 menganut asas desentralisasi diatur berkesinambungan antara daerah Provinsi, kabupaten/kota, dekonsentrasi terbatas pada Kabupaten/kota dan luas pada Provinsi. Tugas pembantuan yang berimbang pada semua tingkatan pemerintahan.
Tentang model organisasi, UU No 32/2004 menggunakan model perpaduan antara local Democratic Model dengan Structural Efficiency model. Satu hal yang terpenting dalam UU No 32/2004 adalah tidak lagi mengesankan adanya legislative heavy seperti UU No 22/1999, tetapi lebih menggunakan prinsip checks and balance antara Pemda dengan DPRD. Namun demikian, diakui bahwa terdapat kesan UU No 32/2004 kembali menjadi executive heavy seperti terlihat dalam pengaturan tentang DPRD ditempatkan sesudah pengaturan tentang Kepala daerah.
Salah satu kelemahan UU No 32/2004 adalah terlampau banyaknya aturan yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah sehingga hal-hal esensial lainya malah tidak diatur. Pemilihan kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah diatur pada Bab IV Bagian kedelapan yang terdiri dari 63 pasal atau hampir 25 % dari keseluruhan isi UU. Seharusnya UU hanya mengatur hal-hal pokok saja, sedangkan pengaturan teknisnya diatur lebih lanjut dalam peraturan teknis lainnya. Meskipun hal tersebut bukan tanpa alasan yakni agar tidak terjadi distorsi dalam pembuatan peraturan teknis dibawah UU tersebut.
Beberapa hal yang kemudian mengemuka dan menjadi persoalan dalam pelaksanaan otonomi daerah diantaranya adalah masalah pemekaran wilayah dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung. Padahal sesungguhnya aturan yang ada sudah mempertimbangkan berbagai aspek dalam rangka mengantisipasi berbagai persoalan yang mungkin muncul. Prinsipnya, bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah. Selain itu harus memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Terkait dengan pemekaran wilayah, dalam pidato di DPD tanggal 22 Agustus 2006 yang lalu Presiden menyatakan bahwa sejak diundangkannya UU No 22/1999 hingga berlakunya UU No 32/2004 tentang Pemerintahan daerah, telah terbentuk 7 provinsi, 114 kabupaten dan 27 kota sebagai daerah pemekaran. Meskipun pemekaran itu berangkat dari aspirasi yang baik, terutama untuk meningkatkan pembangunan dan pelayanan publik, namun dari berbagai evaluasi yang dilakukan, terlihat bahwa sebagian besar dari daerah-daerah pemekaran itu belum mampu mewujudkan keinginan itu. Bahkan kenyataannya justru sebaliknya. Disamping itu pemekaran wilayah, yang berarti pembentukan daerah otonom baru, kata presiden, otomatis akan menambah beban keuangan negara. Dengan memperhatikan semua ini, presiden memandang perlu untuk melakukan penataan kembali pemekaran wilayah agar dapat dilaksanakan secara sistematis dan terarah. Karena itulah pemerintah kini menunda pengajuan RUU inisiatif pemekaran wilayah, sambil menunggu penyelesaian penyusunan peraturan pemerintahan tentang pemekaran dan penggabungan wilayah.
Dari pernyataan tersebut, komisi II sebenarnya sudah memiliki sikap bahwa Peratutan Pemerintah pengganti PP No. 129 tentang pemekaran dan penggabungan harus segera diselesaikan, tetapi hingga saat ini memang belum ada sehingga tentunya mengganggu proses pembahasan RUU tentang Pemekaran Wilayah. Komisi II sepakat untuk menindaklanjuti usulan 12 RUU pemekaran karena sudah masuk tetapi yang 19 masih perlu dikaji. Itupun tetap menunggu PP pengganti PP 129 tersebut. Oleh karena itu sebenarnya masalah pemekaran bukan sekadar belum tercapainya tujuan karena usia otonomi daerah belumlah sepuluh tahun. Apalagi sampai menambah beban keuangan negara.
Permasalaham menonjol lain adalah pemilihan kepala daerah sacara langsung yang sejak juni 2005 hingga juli 2006 telah dilaksanakan 257 pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah baik untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dengan perincian 11 Gubernur dan wakil gubernur pada 11 provinsi, 208 Bupati dan wakil bupati pada 208 kabupaten dan 38 walikota dan wakil walikota pada 38 kota. Meskipun secara umum penyelenggaraan pilkada telah berlangsung dengan aman, tertib dan demokratis, namun terdapat beberapa hal krusial seperti terdapatnya pihak-pihak yang tidak puas dengan hasil pemilihan yang pada gilirannya mengakibatkan kejadian anarkis serta berlarut-larutnya penyelesaian konflik seperti pada kasus kota Depok.
Penyelesaian terhadap beberapa kasus memang dilakukan melalui proses peradilan yaitu pengajuan gugatan pemohon pada Mahkamah Agung dan pengadilan Tinggi. Dalam perjalannya banyak gugatan tersebut yang ditolak/tidak diterima yang pada gilirannya menumbuhkan ketidakpuasan atas keputusan tersebut. Kondisi inilah yang salah satunya sering memicu tindakan anarkis sebagai ekspresi ketidakpuasan. Padahal sesungguhnya ekspresi ketidakpuasan tidak seharusnya dilampiaskan melaui cara yang justru tidak demokratis.
Masalah lain yang sering muncul dalam pelaksanaan kepala daerah adalah masalah teknis terutama pada pelaksanaan tahun 2005. Permasalahan teknis tersebut meliputi keterbatasan waktu, sosialisasi yang minim dam masih lambatnya surat pemberitahuan dari DPRD kepada KPUD tentang berakhirnya masa jabatan kepala daerah. Masalah lain adalah terlambatnya pembentukan Panitia Pengawas Pilkada (Panwas Pilkada). Padahal lembaga ini memiliki tugas mengawasi setiap tahapan Pilkada. Masalah yang muncul adalah dalam proses pencalonan, sehingga dalam proses pencalonan tidak ada yang mengawasi KPUD.
Masalah berikut adalah banyaknya pemilih yang tidak terdaftar sehingga menimbulkan protes dan sengketa. Ini menandakan kurangnya kooordinasi antar instasi seperti antara Dinas Kependudukan dan PPS (KPUD). Hal ini berdampak pada penetapan dan sosialisasi Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masalah daftar pemilih ini menjalar kepada adanya pemilih yang belum cukup usia, sudah meninggal, tidak berdomisili di daerah tersebut atau aktif sebagai anggota TNI/Polri. Hal tersebut semakin memperparah proses pendataan pemilih.
Masalah krusial berikut adalah dalam hal proses pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Masalah yang muncul dalam konteks ini dimulai dari pencalonan oleh partai politik yang disebabkan adanya kepengurusan ganda hingga masalah kurang telitinya panitia(KPUD) dalam memverifikasi bakal calon sehingga menimbulkan ketidakpuasan massa pendukung salah satu calon. kondisi ini menunjukan betapa sulitnya menentukan calon kepala daerah dengan mengingat berbagai aspek baik aspek partai politik maupun aspek kesiapan KPUD.
Permasalahan juga muncul dalam hal kampanye calon kepala daerah. Biasanya permasalahan muncul berupa curi start kampanye. Selanjutnya bentuk pelanggaran kampanye juga berbentuk money politik yakni pembagian uang dan barang-barang yang bisa dikonversi keuang kepada peserta kampanye. Juga dalam hal arak-arakan atau pawai keliling yang dilakukan massa pendukung calon yang dilakukan secara tidak tertib. Parahnya , KPUD banyak yang tidak memberikan aturan teknis tentang pelaksanaan kampanye.
Setelah masa kampanye, permasalahan juga muncul ketika masa tenang seperti belum bersihnya semua alat peraga kampanye di beberapa lokasi. bahkan terjadi penundaan waktu pemungutan suara karena masih terdapatnya alat peraga disekitar TPS. Selain itu masih terjadi kampanye teselubung yang dilakukan oleh para calon. Masalah-masalah lain berupa standar audit dana kampanye belum ditetapkan sehingga akuntabilitas audit dana kampanye belum mampu untuk menjawab dugaan money politic yang disampaikan pihak yang kalah. juga masalah saat pemungutan suara dan masalah pasca pemungutan suara. Ada yang memiliki kartu ganda, tetapi ada warga yang tidak memiliki kartu pemilih, penghilangan kotak dan surat suara dan sebagainya. Berbagai permasalaahan tersebut hendaknya dijadikan perhatian untuk ke depan tidak terulang lagi atau setidaknya menjadi lebih baik dalam pelaksanaan pilkada. hal itu membutuhkan kesiapan dari semua pihak baik pemerintah pusat, DPR, pemerintah daerah dan masyarakat sebagai elemen bangsa.
UU No 32/2004 tentang Pemerintahan daerah memiliki beberapa persoalan dalam tataran implementasi. Namun demikian, bukan berarti UU tersebut lemah. Lahirnya sebuah UU yang merupakan produk politik merupakan hasil pembahasan terhadap munculnya permasalahan yang terjadi serta diupayakan untuk mengantipasi permasalahan yang mungkin muncul. Tetapi hal tersebut tidak serta merta UU yang salah ketika muncul persoalan dikemudian hari.
Selain faktor landasan hukum ( peraturan perundang-undangan) faktor aktor pelaksana di lapangan juga menjadi hal yang perlu diperhatikan apakah ia cakap atau tidak dalam melaksanakan sebuah peraturan perundangan-undangan. Jika para aktor tidak cukup capable dalam menjalankan sebuah peraturan perundang-undangan setingkat UU, maka tentunya harus dilakukan evaluasi menyeluruh tidak sekadar harus mengganti UU tersebut.
Langkah kedepan
Melihat kompleknya permasalahan di seputar implementasi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka perlu dilakukan evaluaasi secara komrehensif oleh para stakehonders baik di jajaran pemerintah (eksekutif) maupun legislatif. Evaluasi ini sangat penting guna lebih menghasilkan sebuah pemikiran yang tidak keliru bagi proses penyelengaraan pemerintah daerah. Evaluasi bisa menghasilkan bahwa UU No 32/2004 yang perlu direvisi atau bahwa peraturan pelaksananya yang belum sepenuhnya sempurna atau para aktor pelaksana UU tersebut yang memang masih lemah atau juga karena dinamika politik yang begitu tinggi, maka implementasi UU No 32/2004 menjadi relatif sulit.
Berbagai kemungkinan tersebut harus menjadi perhatian bagi semua pihak terkait termasuk para jajaran pemerintah daerah yang paling terkena dampak dari UU tersebut. Oleh karena itu sesungguhnya UU tersebut benar-benar bermanfaat bagi rakyat atau masyarakat khususnya masyarakat di daerah secara keseluruhan. jika evaluasi tersebut gagal memberikan nilai tambah bagi penataan demokrasi secara umum dan penyelenggaraan otonomi daerah secara khusus.
Langkah kedepan yang perlu dilakukan adalah pemerintah dalam hal ini Departemen dalam Negeri melakukan inventarisasi masalah baik substansi UU No 32/2004 yang dianggap bermasalah serta inventarisasi masalah dalam hal tataran implementasi. Hal lain adalah peningkatan kapasitas para pelaksana pelaksana di lapangan sehingga tidak menimbulkan banyak pemahaman terhadap isi UU No 32/2004.
Bagi DPR sendiri, sesungguhnya tugas utama yang harus dilakukan adalah melakukan pengawasan secara terus menerus terhadap pelaksanaan UU No. 32/2004 tersebut. Pengawasan tersebut dilakukan dalam setiap rapat kerja serta ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah-daerah. Hasil pengawasan tesebut haruslah menjadi bagian yang tidak terpisahkan bagi Departemen Dalam Negeri dalam mengevaluasi pelaksanaan UU NO. 32/2004 tentang Pemerintahan daerah.
Hasil dari semua itu barulah kita menentukan langkah apa yang sebaiknya dilakukan. jika memang harus dilakukan revisi atau bahkan penggantian terhadap UU No. 32/2004, maka dapat dilakukan dengan mematuhi kaidah-kaidah pembentukan sebuah undang-undang. DPR akan siap membahas jika alasan untuk itu sangat rasional serta demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Jadi UU No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah hingga saat ini harus ditempatkan sebagai landasan yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bahwa terdapat kekurangan dan kelemahan dalam UU tersebut diperlukan sebuah evaluasi yang menyeluruh terdapat berbagai persoalan yang muncul dalam tataran implementasi. Berbagai masukan dari masyarakat harus ditempatkan sebagai bagian dari proses evaluasi tersebut. sejauh ini hadirnya UU No. 32/2004 sudah memberikan sebuah kondisi yang lebih demokratis di tinggkat lokal dengan diaturnya pemilihan kepala daerah secara langsung serta hal-hal lain yang sebelumnya belum diatur. Oleh karena itu, kedepan setiap kebajikan termasuk pembentukan sebuah UU harus menjadi lebih baik dari sebelumnya serta sebisa mungkin mengantisipasi setiap persoalan yang mungkin muncul dan terpenting kesiapan peraturan pelaksanaan serta kesiapan sumber daya pelaksanaannya dilapangan.


Wassalam

Rachmad
Independent
rbacakoran at yahoo dot com