Saturday, November 10, 2007

ACEH SERAMBI MARTABAT

Jakarta 3 September 2006

ACEH SERAMBI MARTABAT

Seminggu setelah Aceh lantak, tim penerbit buku ini sudah bermalam di Balai Budaya Banda Aceh. Memang hanya sedikit yang bisa dikerjakan saat itu. Begitu parahnya bencana serta keterbatasan yang kami miliki tak memungkinkan kami berbuat lebih jauh. Tapi dengan semangat yang tetap tinggi, seperti para relawan kemanusiaan yang berdatangan di Aceh, direktur program penerbitan bersama para kurator akhirnya memperoleh beberapa nama intelektual muda Aceh yang masih tersisa. Ini berkat masukan berbagai pihak.
Mengapa intelektual muda? Hemat kami, selain para birokrat serta berbagai pihak yang merasa paling bertanggung jawab atas beragam masalah yang mendera wilayah ini, membangun kembali Aceh juga merupakan kewajiban para intelektual muda yang lahir dan tumbuh di lingkungan tersebut. Sebelum bencana dahsyat tsunami datang, menurut salah satu media, 7 januari 2004, lebih dari 51% dari sekitar 4.044.100 penduduk provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengalami gangguan jiwa dan psikososial akibat konlfik yang berkepanjangan. Setelah tsunami, 1.214 gedung sekolah dari berbagai tingkatan hancur, 1.814 guru dan hampir 200 dosen dinyatakan meninggal atau hilang. Bencana ini menghilangkan sekitar 35% potensi intelektualnya.
Di samping itu, ramainya berbagai wacana untuk membangun kembali daerah ini dengan segala platformnya beberapa waktu setelah bencana, baik dari lembaga nasional maupun internasional, hinggar bingarnya seolah mampu menentukan masa depan rakyat Aceh. resep-resep yang muncul dan ditawarkan pun seakan tak tertandingi. Begitu pula saat mulai dibentuk berbagai lembaga yang agung.
Namun bersama sang waktu, nampaknya semakin jauh saja antara ilusi dan kenyataan yang ada. Sampai buku ini terbit setelah lebih darin dua tahun tsunami melanda, masih banyak korban tsunami menempati tempat tinggal tak nyaman, anak-anak yang sekolahnya belum kembali tertata sempurna, serta berbagai fasilitas pelayanan sosial lainnya yang tak kunjung hadir dengan memuaskan.
kami pun teringat dengan Jacob Von Uexkull, penulis Swedia yang menantang cara berpikir negara-negara maju dan ortodoks dalam menyelesaikan berbagai problem sosial dunia. Karena itu, antara lain, ia usulkan penambahan bidang hadiah Nobel: ekologi dan yang berkaitan dengan orang-orang miskin. Usul ditolak; maka ia wujudkan sendiri gagasan tersebut. Pada 1980 Uexkull mendirikan Right Livelihood Awards, yang setiap tahun memberikan hadiah kepada pemerhati yang langsung menangani masalah ekologi dan mereka yang membantu orang-orang miskin untuk survive.

Mimpi Aktif Nalar Aceh
Bahkan kata pun mendadak terbang meninggalkan dunia yang terhenyak menyaksikan Banda Aceh, calang, Meulaboh dan sejumlah twempat di garis pantai Asia Tenggara, Asia Selatan dan Afrika timur di terjang oleh gelombang tsunami, 26 Desember 2004. Gelombang maut akibat gempa tektonik 8,9 skala Richter yang berpusat di dasar laut Andaman, Sumatra, itu menelan korban hampir 250.000 jiwa dan membuat sekitar 1.700.000 orang kehilangan tempat tingal. Ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang menghentakan dan mengubah sejarah dunia modern, sebagaimana disadari oleh penulis bunga rampai ini, tak menelan korban sebesar itu. Korban tsunami terbanyak memang jatuh di ibukota nanggroe Aceh Darussalam, mergerkah separuh wilayah kota penuh sejarah itu. Untuk beberapa saat, pemandangan yang luar biasa mengerikan itu seakan melumpuhkan akal, dan menyihir manusia beku dalam ketakutan. bayangan purba-keramat tentang kiamat dan murka Illahi yang tak tertanggungkan, tiba-tiba mencengkeram sebagian manusia yang menatap rekaman bencana itu ditanyangan di layar kaca di seluruh penjuru bumi.
Hanya beberapa hari setelah kelumpuhan akal itu dunia menyaksikan sebuah gelombang lain yang saling susul: gelombang solidaritas lintas benua. Jika gelombang raya tsunami melumpuhkan mereka yang memandang tayangannya, antara lain karena gambaran kiamat yang banyak disinggung dalam khazanah agama, gelombang solidaritas lintas benua itu mencengangkan justru karena sama sekali tak terbanyangkan oleh siapapun sebelumnya. Orang-orang dari berbagai penjuru bumi, bukan hanya Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, turun tangan membantu para korban dan ikut menampung rasa pedih akibat bencana yang dilontarkan dari dasar samudera.Ribuan orang serentak meninggalkan kerja rutinnya. Ditengah udara yang digantungi maut, mereka mencari dan menguburkan korban-korban yang kebanyakan tak lagi utuh. Anak-anak di belahan dunia yang lain memecah tabungan dan menggerakan kegiatan amal mengumpulkan dana bantuan. Bencana alam dahsyat itu teryata telah menggerakan gelombang balik simpati dan solidaritas, dengan kecepatan dan keluasan yang belum ada presedennya. Kamera vidio dan transmisi satelit tentu ikut berperan membangkitkan gelombang kemanusiaan berskala global itu.
Tapi hal yang paling menakjubkan dari semuanya justru tak banyak ditayangkan media. yakni, kuatnya daya hidup mereka yang selamat itu. Tulisan 16 orang muda yang terkumpul di bunga rampai ini adalah saksi dari daya hidup yang luar biasa itu. Sejumlah penulis buku ini kehilangan sangat banyak hal dalam bencana itu. Bagi sebagian besar orang yang melihat terjanggan gelombang maut setinggi pohon kelapa, bencana yang membuat porak poranda kota itu adalah bencana dengan akibat yang mustahil bisa ditanggungkan. Namun, dengan parut luka batin yang tak mungkin lenyap tanpa bekas, para penulis ini menghimpun segara hal yang masih mereka punya;menghimpun pikiran, kata, harapan dan kemenangan pedih untuk ikut membangun kembali Aceh, menjadikannya kawasan yang damai,adil, makmur dan bermartabat. Sebagian besar tulisan dibunga rampai ini dibuat pada bulan-bulan awal seusai gelombang raya, ketika kehidupan sosial politik di Aceh masih gelap berkabut, ketika pemerintah pusat dan pihak yang bertikai masih belum juga menemu kata sepakat.
Aceh, daerah istimewa dalam sejarah dan kesadaran kontemporer Indonesia, wilayah paling heroik sekaligus paling pahit dalam riwayat republik. Gelombang tsunami di penghujung 2004 hanyalah kepahitan baru yang mengguncangkan bukan hanya warga Tanah rencong yang disebut juga Serambi Mekkah ini. sejumlah nada pahit yang akarnya tertanam jauh sebelum kedatangan gelombang raya tsunami akan masih terasa di sekian tulisan yang disusun oleh anak-anak muda yang lahir dan tumbuh di Bumi Iskandar Muda ini. Bahkan mereka yang tak lahir di Aceh namun punya ikatan emosional - bertapapun halusnya - dengan rakyatnya,akan menghasilkan tulisan dengan nada getir yang adalah gaung dari carut marut penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
Azhari(penyair kelahiran Lamjamee yang kehilangan kedua orangtua dan semua saudara kandungnya),misalnya, dengan tajam menulis bagaimana penindasanan penaklukan beroperasi dengan metode yang begitu hebat. bahkan bunyi klakson mobilpun menjadi bagian dari penaklukan, dan melembagakan sebuah kebiasaan yang mengores dalam pemakaian ruas jalan.
Penaklukan, betapapun masifnya, akan melahirkan para pemberontaknya sendiri. Yang menarik dari kaum muda Aceh ini, merka memberontak bukan hanya terhadap keadaan yang menindas, juga pada dorongan naluriah untuk menumpuk dendam yang menyempitkan pikiran. Beberapa penulis bahkan bisa dengan jernih dan tajam melihat sejumlah kecendrungan yang punya potensi destruktif yang bersemayam dalam tubuh Aceh sendiri. Bagi Teuku Kemal fasya, Aceh memang bukan lagi sekedar sebuah etnik, melainkan imajinasi bergerak dari beberapa etnik yang mencoba menyatu dalam darah dan sejarah. Pengalaman pahit"bersama Indonesia" membuat kemungkinan pemisahan diri menjadi sesuatu yang terbuka. namun demikian, Teuku Kemal Fasya mengingatkan, kolonialisme baru yang bisa sangat represif dan fasistik, mungkin saja muncul dari nasionalisme Aceh yang bermula dari imajinasi yang bergerak itu.
Reza idria juga menyingung kecendrungan baru dalam kehidupan sosial politik Aceh yang bisa menerkam aspirasi kebebasan dan kemanusiaan. Kecendrungan yang bisa destruktif ini mengusung bendera yang mungkin dianggap identik dengan keacehan, yakni tekad keras pelaksanaan syariat Islam. bagi reza, syariat yang Kaffah yang dicita-citakan Tuan Penguasa di Aceh akan menghasilakan malam yang tercipta hanya untuk lelaki (wanita yang terlihat keluar malam adalah jalang yang wajib dihukum), ruang publik yang diskriminatif yang memisah-misahkan manusia menurut kelaminnya danarogansi petugas yang sekaligus merasa dirinya pemilik kebenaran syariat. Pendek kata, pelaksanaan syariat yang penuh nafsu itu justru bertabrakan dengan sejarah panjang keterbukaan dan solidaritas di gampong-gampong (desa-desa) Aceh; hal-hal yang akan mengakibatkan tak sejuknya agama bagi banyak orang, dengan syariat yang tak adil karena hanya sanggup mendera kriminal mungil yang tertindas dan bukan penjahat besar yang melintas batas.
Aceh Serambi Martabat
Aceh bukanlah sebuah etnik, melainkan imajinasi bergerak dari beberapa etnik yang mencoba terus menyatu dalam darah dan sejarah. Ketika nasionalisme Aceh muncul, jangan sampai memunculkan kolonialisme baru, yang bisa sangat represif dan fasis.
Kenapa air raya tak ikut memangsa pula kemiskinan, kebodohan, kemunafikan dan korupsi di kampung saya? Mestinya air raya jahanam itu mengayak-ngayak pula nasib sosial yang buruk itu. Menghayutkannya ke laut luas.
Buku sudah menjadi teman orang Aceh sejak abad ke-16, termasuk ketika mereka masih berumah di hutan belantara pada episode panjang melawan penjajahan Belanda. Kolonial Belanda paling benci melihat sebuah buku ukuran saku berisi tentang perang sabil, karena buku kecil itu mampu melipatgandakan kekuatan pejuang Aceh.
Nelayan di Ulee Lheue berujar: sampai kapan pun, setiap jumat, kami berkumpul di masjid ini. Tak mengherankan bahwa hingga kini banyak terjadi penolakan terhadap rencana relokasi penduduk paska tsunami , dan penduduk kembali memulai hari-harinya dengan mendiami puing-puing rumahnya, hingga ajal menjemput.
Penerbit
KOTAKITA PRESS bekerjasama dengan Britist council dan Indonesia Association of British Alumni
Jakarta, juli 2006
jl. Siaga II A No. 48 A, Pejaten Barat, Pasar Minggu
Jakarta 12510
telp (021) 7983366,7984646
Fax (021) 7970567
Termasuk Bibliografi
ISBN: 979-07076-2-5


Wassalam

Rachmad
Independent
rbacakoran at yahoo dot com