Saturday, November 10, 2007

Mahkamah konstitusi Republik Indonesia "Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis; Tiga Tahun MK RI Mahkamah konstitusi Republik Indonesia

Jakarta, 30 Agustus 2006
Mahkamah konstitusi Republik Indonesia
Menegakkan Negara Hukum Yang Demokratis; Tiga Tahun MK RI


Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga baru dalam ketatanegaraan Indonesia sebagai hasil perubahan UUD 1945. Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 menyatakan
"Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah mahkamah konstitusi".
Hal ini berarti cabang kekuasaan kehakiman merupakan satu kesatuan sistem yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. MK kemudian diatur ddengan UU No. 24/2003 tentang MK yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003. Namun, Lembaga MKsendiri baru benar-benar terbentuk pada tanggal 17 Agustus 2003 setelah pengucapan sumpah jabatan 9 hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.
Keberadaan MK sebagai lembaga tersendiri diperkenalkan oleh pakar hukum Austria Hans Kelsen (1881-1973) yang menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak. Untuk itu dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut MK (constitusional court).
Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan sebagian atau keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ negara yang lain. Gagasan ini kemudian terwujud dengan pembentukan Verfassungsgerichtshoft atau MK di Austria berdasarkan konstitusional tahun 1920.
Ide pengujuan konstitusional di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak awal perumusan UUD 1945 yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Muhammad Yamin, dalam sidang BPUPK mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung ) diberi wewenang untuk "membanding" undang-undang. Namun usulan M.Yamin ini sisanggah oleh Soepomo dengan alasan konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan melainkan konsep pembagian kekuasaan selain tu tugas hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang serta kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat. Akhirnya, ide pengujian UU terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebur tidak diadopsi dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.
Gagasan pelembagaan pengujian konstitusional dengan membentuk MK kembali mendapat momentum pada saat dilakukan perubahan UUD 1945 (1999-2002). Pembentukan MK dilandasi oleh adanya alasan-alasan diantaranya adalah:
1. Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukan bahwa suatu keputusan yang demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD.
2. Bertambahnya jumlah lembaga negara dan bertambahnya ketentuan sebagai akibat perubahan UUD 1945 menyebabkan potensi sengketa antarlembaga negara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang supremasi kekuasaan yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga yang netral untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
3.Ada kasus aktual yang terjadi di Indonesia pada saat itu, yaitu pemakzulan (impeachment) Presiden K.H. abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada sidang Istimewa MPR tahun 2001. Kasus ini mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari cara agar ada mekanisme hukum yang membingkai proses pemberhentian Presiden(dan/atau wakil presiden) yang tidak didasarkan atas alasan politis semata. Untuk itu, disepakati keperluan akan adanya suatu lembaga yang berkewajiban menilai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden (dan/atau wakil presiden) yang dapat menyebabkan presiden (dan/atau wakil presiden) dapat diberhentikan sebelum habis masa jabatannya.
Akhirnya, melalui perubahan ketiga UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 9 November 2001. Berdasarkan pasal 24C UUD 1945, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk;
a. Menguji UU terhadap UUD 1945
b. Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangan diberikan oleh UUD 1945
c.Memutuskan pembubaran partai politik
d.Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum
e. Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Kewenangan pertama MK sering disebut sebagai "constitutional review" atau pengujian konstitusional karena kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945.
Konsep "CR" merupakan perkemabangan gagasan modern tentang sistem pemerintahan demokkratis yang didasarkan atas ide negara hukum ( rule of law), prinsip pemisahan kekeuasaan (separation of power), serta perlindungan hak asasi manusia (the protection of fundamental rights).
Dalam "CR" tercakup dua tugas pokok, yaitu pertama, menjamin berfungsinya sistem demokrasi dalam hubungan peran atau "interpaly" antar cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
CR dimaksudkan untuk mencegah dominasi kekuasaan dan/atau penyalahgunaan kekuasaaan oleh salah satu cabang kekuasaan. kedua, untuk melindungi setiap individu warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh lembaga negara yang merugikan hak-hak fundamental mereka yang dijamin dalam konstitusi.
sedangkan kewenangan Mk yang lain dapat dilihat sebagai upaya penataan hubungan kelembagaan negara dan institusi dengan kewenangannya tersebut, hubungan kelembagaan negara dan institusi demokrasi lebih didasarkan pada hubungan yang bersifat politik. Akibatnya, sebuah lembaga dapat mendominasi atau mengkooptasi lembaga lain, atau terjadi pertentangan antarlembaga atau institusi yang melahirkan krisis konstitusional. Hal ini menimbulkan ketiadaan kepastian hukum dan kotraproduktif terhadap penegembangan budaya demokrasi. Pengaturan kehidupan politik kenegaraan secara umum juga telah berkenbang sebagai bentuk "the constitutionalization of democratic politics".
Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum dan perkembangan demokrasi itu sendiri, berdasarkan konsep negara hukum yang demokratis(democratische reshtsstaat).
Berdasarkan kewenangan MK yang diberikan oleh UUD 1945, MK mengembab fungsi sebagai penjaga konstitusi (the interpreter of the constitution). bagaimana suatu ketentuan dalam UUD 1945 seharusnya ditafsirkan dan dilaksanakan terwujud dalam keputusan MK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya.
Selama tiga tahun keberadaannya, MK telah menerima dan memutus permohonan yang terkait dengan tiga kewenangan, yaitu pengujian UU terhadap UUD, sengketa kewenangan lembaga negara dan perselisihan hasil pemilihan umum. permohonan yang paling banyak diterima adalah perkara pengujian UU sebanyak 86 perkara dan telah diputus sebanyak 81 perkara. dari 81 putusan tersebut terdapat 24 perkara yang permohonannya dikabulkan. Putusan yang mengabulkan tersebut telah menyatakan ketentuan tertentu dalam suatu UU bertentangandengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Bahkan terdapat putusan yang membatalkan UU secara keseluruhan, yaitu UU No 20 tahun 2002 tentang ketenagalistrikan dan UU No 16 tahun 2003 tentang penetapan perpu No 2 tahun 2002. secara keseluruhan, terdapat 17 UU yang bagian atau keseluruhannya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
MK juga telah menangani 4 pwerkara terkait dengan senngketa kewenanan lembaga negara, 3 perkara telah diputuskan dan 1 perkara ditarik kembali oleh pemohon. sedanglkan terkait dengan kewengan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, pada pemilihan umum tahun 2004 MK menerima 274 kasus. Kasus-kasus tersebut diklasifikasikan menjadi 23 perkara berdasarkan partai politik yang mengajukan permohonan, 21 perkara DPD dan 1 perkara pemilun presiden dan wakil presiden. dari kasus-kasus tersebut, terdapat 41 kasus tang dikabulkan, 135 kasus yang ditolak, 89 kasus yang tidak dapat diterima dan 9 kasus yang ditari kembali.
sepanjang tiga tahun kenberadaanya, MK telah berupaya untuk mewujudkan tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudlkan cita negara hukum yang demokratis baik memali pelaksaan kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945

Wassalam

Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com