Saturday, November 10, 2007

KESAKSIAN BJ HABIBIE Detik-detik Menentukan pada Tahun 1998

Jakarta 21 September 2007

KESAKSIAN BJ HABIBIE

Detik-detik Menentukan pada Tahun 1998

"Ini penghinaan. Anda memecat saya sebagai Panglima Kostrad?" tanya Prabowo. Habibie menjawab, "Bukan dipecat, tetapi diganti." "Mengapa? Saya justru ingin mengamankan Presiden." "Itu tugas Pasukan Pengamanan Presiden yang bertanggung jawab kepada Panglima ABRI, bukan tugasmu…." "Tidak. Sebelum matahari terbenam nanti, semua pasukan Kostrad sudah harus diserahkan kepada panglima baru."
Dialog Habibie dan Prabowo itu memakai bahasa Inggris pada Jumat siang, 22 Mei 1998, di Wisma Negara, Jakarta. Pembicaraan mereka langsung berakhir setelah Sintong Panjaitan ikut masuk sambil menukas, "Jenderal, Bapak Presiden sudah tidak punya waktu lagi, harap tinggalkan ruangan...."
Kini semuanya sudah menjadi sejarah. Pertengkaran tidak menjadi tambah berlarut. Malamnya, Prabowo menyerahkan jabatannya kepada Letnan Jenderal Johny Lumintang, Asisten Operasi Panglima ABRI. Disusul esok paginya, pelantikan Mayor Jenderal Djamari Chaniago, eks Panglima Kodam Siliwangi, menjadi Panglima Kostrad.
Sewaktu dialog berlangsung, Habibie belum genap 24 jam diangkat menjadi presiden, menggantikan Soeharto yang mendadak menyatakan lengser. Prabowo, letnan jenderal, anak begawan ekonomi Prof Dr Soemitro sekaligus menantu Presiden Soeharto. Sintong, pensiunan letnan jenderal, asisten Habibie.
Posisi Sintong naik turun. Namanya menjulang ketika tahun 1981 memimpin tim Kopassus menggagalkan pembajakan pesawat Garuda di Bangkok, Thailand. Awal tahun 1990-an, ia tak punya jabatan karena dianggap bertanggung jawab atas insiden berdarah di Dili, Timor Timur. Karier Sintong kembali bersinar setelah Habibie memintakan pengampunan dari Soeharto.
Dalam suasana kemelut sepanjang hari itu, Habibie harus menyusun kabinet baru serta menata pimpinan ABRI menyusul ambruknya Kabinet Pembangunan VII. "Jumat pukul 06.10 saya menelepon Jenderal Wiranto, meminta dia tetap sebagai Panglima ABRI." Wiranto menyatakan sanggup sekaligus melaporkan adanya gerakan pasukan Kostrad yang terkonsentrasi di sekitar Istana Merdeka dan Kuningan, tempat kediaman Habibie, tanpa koordinasi dengan Markas Besar ABRI.
Pukul 07.30 Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal Muchdi menemui Habibie membawa surat dari Jenderal (Purn) Nasution. Isinya, saran agar KSAD Jenderal Subagyo HS diangkat menjadi Panglima ABRI dan Prabowo sebagai KSAD.
Bacharuddin Jusuf Habibie menuangkan pengalaman selama hari-hari panjang tersebut dalam buku Detik-detik yang Menentukan. Buku setebal 549 halaman ini akan diluncurkan Kamis (21/9) malam di Hotel Gran Melia, Jakarta. Sebelum dicetak, naskahnya sudah dibaca oleh Sintong yang memberikan komentar, "… isinya bagus, tetapi kurang lengkap."
"Memang, saya sengaja tidak membeberkan semua, hanya sekitar 70 persen. Sisanya masih belum saya ungkapkan karena saya tidak ingin memperburuk suasana dan memojokkan pribadi seseorang," kata Habibie, didampingi dr Hasri Ainun, istrinya, di Patra Kuningan, Jakarta, Sabtu (16/9) siang.
"Detik-detik Menentukan"
Dengan plastis, Habibie melukiskan, "Saat itu ibaratnya kita dalam bus yang sedang melaju. Tiba-tiba sopirnya kena serangan jantung. Sebagai wakil sopir, saya langsung mengambil alih kemudi. Penumpang gempar, sebagian berteriak, belok kiri. Sebagian bilang, ambil jalan kanan, lainnya menyarankan, tetap jalan lurus. Mereka yang di luar bus juga ikut berkomentar, balik saja jalannya buntu."
"Indonesia waktu itu sedang di persimpangan. Kalau salah memilih jalan, akan terjadi perang saudara dan balkanisasi, negara terpecah belah."
"Pada sisi lain, Habibie mengaku bangga, pilihannya tepat dan dia ikut mengawali jalan panjang Indonesia menuju kehidupan demokratis."
Selama 17 bulan memimpin pemerintahan, Habibie mengaku banyak mengambil keputusan tidak populer, misalnya tentang kemandirian Bank Indonesia, Jaksa Agung tidak lagi menjadi anggota kabinet, dan penyelesaian persoalan Timor Timur.
Timtim warisan rumit yang terpaksa harus ditanganinya. Pada kaitan ini ia memuji peran Menteri Luar Negeri Ali Alatas yang jadi ujung tombak perundingan dengan PBB. "Beliau melakukan secara profesional oleh karena sadar, kebijakan menyelesaikan soal Timtim adalah keputusan kabinet."
Kebijakan pemberian penentuan pendapat mendorong lepasnya Timtim. Namun, menurut Habibie, kebijakan itu kemudian bisa disetujui lewat terbitnya Ketetapan MPR Nomor V Tahun 1999. Bahwa karena persoalan itu Habibie akhirnya tak lagi jadi presiden, katanya, "Biarkan semua kekurangan menjadi milik saya. Kerja, karya, dan hasil yang saya capai seluruhnya terpulang kepada rakyat, pemilik sejati negeri ini."
Berada di pusat pengendali, Habibie punya pengalaman mengesankan. Ia bisa menuliskannya sebagai buku berdasarkan catatan harian yang dibuatnya. Dalam pada itu, dengan membaca buku itu, kita akan melihat drama, pergolakan, perdebatan, dan apa saja yang selama itu terjadi di bawah permukaan, dari sudut pandang Habibie.
Bagaimana pada hari Pak Harto (21/5/1998) mundur dan Habibie dilantik sebagai presiden baru, ia "dibiarkan" tanpa disapa meski sudah mengejar Soeharto dari Cendana sampai Istana Merdeka. "Presiden Soeharto, manusia yang sangat saya hormati, cintai, dan kagumi, ternyata menganggap saya seperti tidak pernah ada…."
Selain itu, ternyata telah ada jadwal yang disusun Pak Harto bersama Habibie pada Rabu (20/5/1998) sore di Cendana, bahwa pada hari Kamis akan diumumkan susunan Kabinet Reformasi, Jumat pelantikan, dan Sabtu Pak Harto baru akan menyatakan mengundurkan diri. Jadwal inilah yang kemudian disampaikan Habibie dalam sidang ad hoc kabinet pada Rabu malam di Kuningan, dihadiri empat menteri koordinator dan 14 menteri.
Ternyata jadi berantakan
Pak Harto menolak telepon Habibie yang ingin melaporkan hasil pertemuan Kuningan. Sebaliknya, Mensesneg Saadilah Mursyid menyampaikan keputusan Pak Harto, Kamis (21/5/1998) pukul 10.00, bahwa Pak Harto akan lengser dan Habibie akan langsung dilantik sebagai presiden baru.
Oleh karena pandangan satu sisi, buku ini menuai sejumlah pertanyaan. Mengapa sikap Pak Harto berubah dengan cepat? Rabu sore masih menjadwalkan akan melantik Kabinet Reformasi, Rabu malam mendadak langsung ingin lengser? Apa latar belakang Jenderal Nasution memberi saran Subagyo menjadi Panglima ABRI dan Prabowo KSAD? Dan apa maksud Prabowo menggerakkan pasukan Kostrad ke Jakarta untuk mengepung Istana Merdeka dan Kuningan?
Rentetan pertanyaan itu tentu saja memerlukan jawaban. Habibie sendiri berharap bukunya bisa memberi motivasi dan stimulus bagi pihak lain untuk menuliskan apa yang mereka ketahui dan alami pada detik-detik yang menentukan itu, agar membuka lebih banyak perspektif berikut memperkaya penulisan sejarah Indonesia, khususnya pada masa reformasi.
Sebuah tantangan sangat menarik. Sesuatu yang memang harus bisa dijawab dengan kecerdasan serupa.


Wassalam

Rachmad
Independent
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com