Saturday, November 10, 2007

Cara Alternatif 'Berbisnis' Sampah

Jakarta 13 September 2006
Cara Alternatif 'Berbisnis' Sampah

Tragedi kemanusian yang cukup besar terjadi lagi baru-baru ini untuk yang ketiga kalinya di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. Ketiga peristiwa longsor sampak di TPA itu terjadi di dua kota besar, Bandung dan Jakarta. Keduanya adalah produsen sampah terbesar di Indonesia. Di kota Bandung, longsor sampak sudah terjadi dua kali yaitu pada tanggal 21 Februari 2005 di Leuwigajah menewaskan 143 orang dan pada tanggal 3 Maret 2005 di Jayagiri, Lembang, menewaskan 2 orang. Kejadian longsor sampak terakhir terjadi di Bantargebang.
Hal yang sama mungkin juga akan terulang lagi di Jakarta. Peristiwa serupa juga mungkin terjadi di beberapa kota besar lainnya seperti Surabaya dan Medan. Kemungkinan tersebut akan tetap ada selama penanganan sampah tetap dilakukan dengan cara yang sama seperti di Bantargebang, Bekasi.

Mencari penyebab
Pertanyaannya adalah mengapa longsor dapat terjadi secara tiba-tiba di musim kemarau panjang seperti sekarang ini? Dari 6.000 ton sampah yang dihasilkan setiap hari di Jakarta, 80 persen terdiri dari sampah organik. Komposisi terbanyak sampah organik itu berasal dari sampah pasar dengan kandungan air 60 persen sampai 80 persen. Dengan demikian setiap harinya di TPA Bantargebang terdapat 2.800 ton sampai dengan 3.800 ton air yang terbuang bersama sampah.
Air sebanyak itu merembes tiap harinya ke lapisan tumpukan sampah di bawahnya. Bersamaan dengan itu di bagian lapisan bawah terjadi proses dekomposisi bahan organik. Bahan organik yang telah mengalami dekomposisi bercampur dengan air membentuk tekstur yang menyerupai bubur atau lumpur. Proses dekomposisi terus berlanjut dalam kondisi anaerobik. Oleh karena tambahan air sebanyak itu berlangsung terus-menerus setiap hari pada timbunan sampah yang ketinggiannya lebih dari 15 meter, gas metan pun tercipta. Gas yang dihasilkan dari proses anaerob itu menjadi terjerat membentuk kantung-kantung gas metan yang setiap saat dapat meledak. Energi yang ditimbulkan dari ledakan gas metan mampu mendesak lumpur bahan organik yang terkandung dalam sampah, sehingga terjadi longsor.
Mengubah pola lama yang selama ini diketahui membahayakan dan tidak disukai masyarakat di sekitarnya itu tidak mudah. TPA yang ada sudah sejak lama telah menjadi objek bisnis yang mapan yang dikuasai oleh beberapa pengusaha. Kalau usaha yang sudah mapan tersebut diubah maka segelintir pengusaha dan beberapa oknum pemerintah daerah yang mendapatkan imbalan jasa baik dari para pengusaha tersebut akan kehilangan pendapatan. Padahal, pendapatan itu diperoleh dari cara-cara penanganan sampah kota yang tidak benar dan membahayakan masyarakat di sekitar TPA dan pekerja harian lepas di TPA.
Nampaknya terdapat gejala yang sama di beberapa kota besar di Indonesia. Pemerintah kabupaten/kota di Indonesia pada umumnya sangat sulit untuk menerima masukan dari kalangan akademisi untuk menangani sampah dengan benar. Banyak yang mensinyalir hal itu terjadi karena telah tercipta kartel bisnis yang sangat kuat. Praktik seperti ini mendapatkan dukungan dari beberapa oknum pemerintah kabupaten/kota yang tidak bertanggung jawab sehingga akhirnya memakan korban manusia yang tidak sedikit jumlahnya.
Kini merupakan saat yang tepat untuk meninggalkan cara-cara yang tidak benar itu. Kalau upaya perbaikan itu tidak juga dijalankan, berarti pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki tanggung jawab sosial sama sekali. Seiring dengan itu, para pengusaha yang mengeruk keuntungan dari TPA juga tidak bertanggung jawab kepada Yang Maha Pemelihara.
Adakah cara-cara penanganan sampah yang benar sehingga tidak hanya diterima oleh masyarakat tetapi juga menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat banyak? Adakah pola penanganan sampak yang berdampak positif terhadap lingkungan dalam artian yang luas? Jawabnya ada dan telah dirumuskan oleh beberapa ahli di lembaga penelitian dan perguruan tinggi.
Tetapi yang sekarang menjadi masalah adalah kebanyakan pemerintah kabupaten/kota tidak mau mendengar atau menerapkan teknologi yang dirumuskan oleh para ahli tersebut. Padahal, teknologinya sangat-sangat sederhana dan murah untuk sekala 5.000 ton sehari sekalipun. Caranya adalah dengan membangun pabrik pengomposan bahan organik.

Produksi kompos
Untuk mulai menjalankan pabrik pengomposan, kegiatan yang dilakukan hanyalah dengan mencampur 5 ton bahan organik dengan 2,5 kilogram (kg) bioaktivator pengomposan, menimbun setinggi 2 meter, kemudian menutup dengan plastik. Timbunan itu kemudian dibiarkan selama 2 minggu tanpa pembalikan. Hanya dengan cara begitu, para pengelola tempat pembuangan sampah bisa langsung memanen kompos yang dihasilkan dan menjualnya.
Kompos yang dihasilkan dari timbunan sampah organik itu nilainya cukup menggiurkan. Kompos itu bisa dijual kepada petani di wilayah yang bersangkutan, maupun di daerah lain. Dari 5.000 ton bahan organik akan dihasilkan paling tidak 3.000 ton kompos per hari. Jika 1 kg kompos dijual dengan harga Rp 300, maka setiap hari dari tempat pembuangan sampah akan dapat dituai uang sebesar Rp 900 juta.
Untuk memproses sampah yang mampu menghasilkan kompos sebanyak 3.000 ton per hari itu diperlukan lahan 10 hektare (ha) termasuk untuk fasilitas kantor dan jalan. Pengomposan bahan organik dalam skala besar saat ini sudah menjadi praktik sehari-hari di perkebunan kelapa sawit. Diharapkan penanganan sampah kota di Jakarta dengan paradigma baru tersebut dapat terwujud saat terjadi penggatian gubernur DKI Jakarta dalam waktu dekat ini. Sekali lagi, perubahan tersebut hanya akan terjadi jika ada komitmen politik yang kuat dari pemerintah yang bertanggung jawab untuk mengelola sampah.



wassalam
Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com