Sunday, November 11, 2007

Natuna di Balik SBY-Bush

jakarta 21 November 2006

Natuna di Balik SBY-Bush

Pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden AS, George W Bush, di Istana Bogor pada 20 November 2006 mengingatkan kita pada pertemuan-pertemuan yang telah dilakukan kedua kepala negara sebelumnya. Pertemuan-pertemuan itu dilakukan antara lain pada November 2004 di Santiago (Cile), September 2005 di Washington, dan November 2005 di Busan (Korea Selatan). Ketiganya dilakukan dalam forum APEC. Meski demikian, kunjungan Bush ke Indonesia kali ini tetap istimewa, karena merupakan yang pertama kalinya dilakukan di era pemerintahan SBY.
Meskipun secara resmi disebutkan pertemuan memiliki enam agenda, yaitu investasi, energi terbarukan, bencana, pendidikan, kesehatan, dan teknologi informasi, dapat diduga bahwa agenda utama pembahasan terfokus pada persoalan energi. Hal ini sangat logis, mengingat kepentingan politik luar negeri AS dewasa ini memang banyak didominasi persoalan mengamankan pasokan energi bagi negaranya. Seperti pernah dinyatakan Condoleezza Rice di hadapan komite Senat awal April 2006, perebutan global untuk kekayaan energi dewasa ini telah mengarah pada peningkatan persaingan antara Amerika Serikat dan banyak negara di dunia. Rice juga menambahkan, semuanya mengincar kekayaan energi di banyak kawasan untuk menemukan kekayaan alam yang disebut sebagai emas hitam itu.
Dalam konteks inilah, kita perlu menyalakan sinyal kewaspadaan atas perundingan yang dilakukan kedua pemimpin. Hal ini mengingat, dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, selalu ada tindak lanjut yang signifikan dari kedua negara (khususnya Indonesia) di bidang energi. Penandatangan kontrak atau perubahan kebijakan kerap mengiringi hasil pertemuan. Karena itu, diperlukan perhatian khusus, sehingga dapat dipastikan pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan bagi kepentingan nasional, dan bukan justru sebaliknya.
Blok Natuna-D Alpha
Agenda di bidang energi yang diperkirakan menjadi bahasan utama dalam pertemuan ini adalah kelanjutan kontrak ExxonMobil di Blok Natuna D-Alpha. Blok Natuna merupakan salah satu sumber cadangan gas terbesar di dunia, dengan potensi mencapai 46 triliun kaki kubik atau 1.270 miliar meter kubik gas (sesuai data yang dikeluarkan ExxonMobil). Dengan potensi sebesar itu, wajar jika Natuna menjadi incaran berbagai perusahaan minyak multinasional, termasuk ExxonMobil. Tidak tertutup kemungkinan pula negara-negara superpower seperti Amerika Serikat yang selalu haus dengan pasokan energi, tergoda untuk menggunakan kekuasaannya dalam memperoleh sumber migas ini.
Masalah di Blok Natuna terjadi setelah kontrak ExxonMobil terancam putus di blok tersebut akibat ExxonMobil tidak mengajukan program pengembangan lapangan yang dinilai memenuhi kelayakan komersial seperti yang diwajibkan dalam kontrak PSC Section II pasal 2.2 (B). Akibat pelanggaran ini, sesuai dengan ketentuan, maka kontrak ExxonMobil di Natuna seharusnya sudah dinyatakan berakhir, terhitung sejak 9 Januari 2005 (10 tahun setelah Basic Agreement versi amandemen).
Namun, ExxonMobil menolak pemutusan kontrak ini dengan alasan mereka telah mengajukan selembar surat komitmen untuk pengembangan struktur AL (salah satu area di Blok Natuna). Dengan surat komitmen tersebut, menurut pihak ExxonMobil, mereka telah menyatakan kesanggupan untuk melanjutkan pengembangan wilayah ini. Sehingga, kontrak dalam pandangan ExxonMobil, belum berakhir.
Padahal, menurut evaluasi BP Migas, pengembangan yang dilakukan ExxonMobil pada saat ini maupun beberapa waktu mendatang akan sulit memenuhi kelayakan komersial, mengingat banyaknya kendala-kendala yang ditemui. Selain itu, BP Migas juga menilai, berdasarkan penafsirannya terhadap PSC Section II Pasal 2.2 (B), surat komitmen saja tidak cukup untuk menghindari berakhirnya kontrak PSC. ExxonMobil tetap dipersyaratkan untuk membuat dan mengajukan rencana pengembangan yang commercially viable. Sesuai dengan basic agreement, tidak ada tawar-menawar bahwa kontrak ExxonMobil di Natuna telah berakhir pada 9 Januari 2005.
Terlepas dari perdebatan hukum tersebut, sesungguhnya terdapat masalah lain yang jauh lebih penting untuk disikapi. Hal itu adalah porsi bagi hasil yang sangat tidak adil yang diterima negara dari Blok Natuna D-Alpha. Sesuai dengan PSC yang ditandatangani pada 9 Januari 1985, sebagaimana telah diamandemen pada 9 Januari 1995, negara sama sekali tidak menerima bagi hasil dari kegiatan eksploitasi gas di Natuna (0 persen). Keseluruhan hasil dinikmati oleh ExxonMobil (100 persen). Sedangkan negara hanya mendapat bagian dari pajak yang disetorkan ExxonMobil.
Tentu saja, kesepakatan bagi hasil ini sangat aneh. Seperti dinyatakan ahli perminyakan Kurtubi, tidak pernah terjadi dalam sejarah eksploitasi migas di mana pun kontraktor asing tidak berbagi hasil sama sekali dengan pemerintah. Kalaupun terdapat kendala seperti kondisi lapangan yang sulit, besarnya kandungan CO2, atau besarnya biaya pengembangan, pemerintah lazimnya tetap mendapat bagian, setidaknya sebesar 60 persen, sementara kontraktor menerima 40 persen. Kontrak migas yang hanya memberi pajak bagi negara tidak pernah dikenal di mana pun.
Patut diduga kesepakatan pola bagi hasil ini merupakan praktik KKN yang dilakukan rezim Orde Baru dengan pihak kontraktor. Karena itu, pemerintah seharusnya dapat mengambil sikap tegas terhadap kesepakatan ini dengan memutus kontrak ExxonMobil di Natuna. Hal ini sekaligus sebagai upaya koreksi pemerintah saat ini yang dipilih langsung oleh rakyat terhadap kebijakan masa lalu yang merugikan negara.
Hal tersebut perlu diingatkan karena sikap pemerintah yang pada awalnya menunjukkan kehendak untuk mengakhiri kontrak ExxonMobil di Natuna, terlihat berubah dalam beberapa waktu terakhir menjelang kedatangan Bush. Dalam beberapa media, Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, misalnya menyatakan menyiapkan tiga opsi untuk menyelesaikan kasus Blok Natuna D-Alpha yaitu memberikan kepada Pertamina, melakukan tender ulang, dan melakukan negosiasi ulang dengan ExxonMobil.
Dari pernyataan ini, terlihat pemerintah telah berubah sikap dengan membuka peluang bagi ExxonMobil untuk memperpanjang kontrak Natuna.
Bahkan ternyata, opsi yang kini dijalankan pemerintah adalah renegosiasi. Seperti dinyatakan oleh Kardaya Warnika (BP Migas), ''Kami sedang melakukan pembicaraan negosiasi ulang kontrak, sehingga opsi pertama dan kedua tidak dilakukan.'' Ditambahkan pula, negosiasi ini direncanakan selesai dalam waktu tiga bulan. Pernyataan ini diperkuat oleh keterangan juru bicara ExxonMobil Deva Rachman yang membenarkan adanya kesepakatan untuk memulai pembicaraan negosiasi kontrak
Penutup
Blok Natuna merupakan sumber migas yang sangat besar yang harus dapat digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengelolaan Blok Natuna harus sedapat mungkin mempertimbangkan aspek kemandirian bangsa dan penegakan konstitusi. Dalam kaitan itu, UU No.22/2001 tentang Migas telah menyatakan jika kontrak kerja sama telah berakhir, maka wilayah kerja Natuna D-Alpha harus dikembalikan kepada negara untuk dilakukan tender ulang.
Untuk itu, kami meminta Presiden, DPR, dan para pengambil keputusan untuk menjalankan amanat rakyat dan memutuskan untuk tidak menyerahkan Blok Natuna D-Alpha kepada ExxonMobil. Di samping itu kami juga meminta agar penetapan kontraktor gas Natuna dilakukan melalui tender terbuka, serta memberikan privilege/prioritas pengelolaan kepada Pertamina.
Kami juga menyerukan agar tidak terjadi pola-pola hubungan politik antarnegara yang merugikan rakyat dan bangsa Indonesia, di mana terdapat kelompok yang memberikan konsesi kepada asing dalam rangka mendapatkan dukungan atau mempertahankan kedudukannya.
Kami mengingatkan agar kedatangan Bush ke Indonesia tidak mengulangi sikap ketundukan pemerintah terhadap Amerika Serikat seperti ketika Menlu AS berkunjung: Rice datang, Blok Cepu melayang!


Wassalam
Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com