Wednesday, December 12, 2007

REPRODUKSI SOSIAL DAN PEMBANGUNAN MANUSIA

Jakarta, 10 Desember 2007
Reproduksi Sosial dan Pembangunan Manusia
Laporan pembangunan manusia tahun 2007/2008 yang diumumkan 27 November 2007, menempatkan Indonesia pada rangking 107 dari 177 negara. Dibanding dua tahun sebelumnya, capaian pembangunan manusia di Tanah Air secara perlahan mengalami kemajuan. Tercatat, pada 2005 posisi Indonesia di urutan 110 dari 177 negara, dan pada 2006 di posisi 108 dari 177 negara.
Namun, dibanding Vietnam capaian pembangunan manusia di Tanah Air ternyata kalah cepat. Adapun posisi Vietnam di tahun 2007/2008 pada rangking 105 meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya yang berada di posisi 109, atau satu tingkat di belakang Indonesia. Kemajuan Vietnam itu sungguh fantastis, mengingat dari segi pendapatan per kapita berada di bawah Indonesia. Fakta ini mengisyaratkan bahwa besarnya pendapatan per kapita sebagai aktualitas pertumbuhan ekonomi belum menjadi jaminan bahwa pembangunan manusia akan berjalan seiring.
Prioritas pembangunan
Agar pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan pembangunan manusia, maka diperlukan program pembangunan yang bertujuan pada dua hal, yakni meningkatkan standar hidup dan meningkatkan kapabilitas penduduk. Hal ini bisa dicapai jika ada komitmen pemerintah dalam penyediaan anggaran yang cukup untuk pelayanan dasar, khususnya pendidikan dan kesehatan.
Celakanya, alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan di Indonesia belum cukup memadai. Besarnya alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan pada tahun 2002, misalnya, diperkirakan sekitar 20 dolar AS per kapita per tahun. Sementara, pada tahun 1994, besarnya anggaran itu di Korea Selatan telah mencapai 160 dolar AS dan di Malaysia sekitar 150 dolar AS (UNDP, 1996).
Maka tak heran, dengan investasi pelayanan dasar yang demikian besar dan berkesinambungan, kini Korea Selatan dan Malaysia mengalami kemajuan pesat dalam pembangunan manusianya. Tercatat, Korea Selatan berada di posisi 26 dan Malaysia 63 dari 177 negara (UNDP, 2007). Disadari, tidak mudah memenuhi alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan yang memadai di Indonesia, mengingat kemampuan pemerintah terbatas.
Meski, misalnya, dilakukan prioritas tinggi pada pelayanan dasar dari pemerintah, anggaran yang disediakan tetap belum sebesar seperti Korea Selatan dan Malaysia. Namun, sepatutnya hal itu tidak menyurutkan langkah kita untuk terus melakukan pembangunan manusia. Sebab, pembangunan manusia merupakan kunci kemajuan bangsa.
Reproduksi sosial
Salah satu langkah positif yang bisa dijalankan adalah dengan pemberdayaan perempuan melalui kegiatan reproduksi sosial. Hal ini bersesuaian dengan aktivitas yang umum dilakukan perempuan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Studi yang dilakukan di Amerika Serikat misalnya, menemukan bahwa kegiatan sosial kemasyarakatan untuk laki-laki umumnya pada bidang olah raga dan politik, sedangkan untuk perempuan pada bidang amal, serta organisasi kemasyarakatan bidang pendidikan dan kesehatan (UNDP, Human Development Report, 1996).
Maka, kegiatan sosial kemasyarakatan untuk kemaslahatan umat merupakan bentuk dari reproduksi sosial, dan ini bertalian langsung dengan pembangunan manusia. Di Inggris misalnya, kegiatan reproduksi sosial itu telah berlangsung sejak tahun 1980-an dan terbukti efektif dalam memajukan masyarakat. Di Lebanon, kegiatan reproduksi sosial itu antara lain diwujudkan dalam bentuk perkumpulan untuk membantu anak-anak jalanan (UNDP, 1996).
Sepintas, reproduksi sosial mirip lembaga swadaya masyarakat, namun kegiatan reproduksi sosial lebih bersifat informal. Tradisi gotong-royong yang umum dilakukan di Indonesia misalnya, dapat dipandang sebagai suatu kegiatan reproduksi sosial. Kegiatan gotong-royong itu bisa sangat efektif untuk meningkatkan pembangunan manusia, jika kegiatannya berbasis peningkatan pendidikan dan kesehatan penduduk, serta pengembangan ekonomi masyarakat.
Selain gotong-royong, ikatan sekelompok penduduk juga merupakan reproduksi sosial. Ikatan dimaksud bisa berdasarkan suku, agama, profesi, atau kesamaan ide dan aspirasi. Jika pembentukan ikatan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup anggota atau masyarakat, maka ikatan kelompok masyarakat dimaksud juga sejalan dengan pembangunan manusia.
Dengan demikian, gotong-royong serta ikatan atau perkumpulan yang kegiatannya berbasis pembangunan manusia, pada sisi lain dapat berfungsi sebagai katalisator pemerataan akses layanan publik, khususnya pendidikan dan kesehatan. Memang dalam soal pendapatan masih terjadi ketimpangan dalam masyarakat, yang kerap mengakibatkan masyarakat berpendapatan rendah kesulitan dalam mengakses layanan publik.
Keingingan masyarakat untuk saling membantu sesama, kadang sukar dilakukan tanpa ada yang memfasilitasinya. Maka, adanya kegiatan reproduksi sosial itu diharapkan dapat mewujudkan keinginan masyarakat dimaksud. Dan, itu lebih terhormat dibanding mengharap bantuan dari negara atau bangsa lain. Sebab, bantuan dari negara atau bangsa lain itu kadang menimbulkan efek samping, yakni mengendurnya kedaulatan dan kehormatan bangsa kita.
Mencermati kecilnya porsi anggaran yang bisa disediakan pemerintah untuk pembangunan manusia, maka kegiatan reproduksi sosial sangat diharapkan dapat menutupi kekurangan pemerintah tersebut. Saat ini, dua dari tiga indikator pokok pembangunan manusia perlu mendapat perhatian serius, yakni pendidikan dan angka umur harapan hidup. Tercatat, rata-rata lama sekolah (mean years scooling) hanya selama 7,3 tahun, atau rata-rata pendidikan penduduk setara kelas satu SMP. Sedangkan angka umur harapan hidup tercatat 69,7 tahun, lebih rendah dibanding sejumlah negara ASEAN, seperti Singapura 79,4 tahun, Brunei Darussalam 76,7 tahun, Malaysia 73,7 tahun, Vietnam 73,7 tahun, Filipina 71 tahun, dan Thailand 69,6 tahun (UNDP, Human Development Report 2007/2008, 2007)
Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com

MENCERMATI KONTRAK PRODUCTION SHARING

Jakarta, 10 Desember 2007
Mencermati Kontrak Production Sharing
Dengan meningkatnya harga minyak dunia yang sempat mendekati 100 dolar AS per barrel, pemerintah berencana mengalihkan sebagian penggunaan premium yang bersubsidi ke bensin yang beroktan tinggi (RON 90) dan Pertamax. Di jalan-jalan protokol kota besar nantinya tidak disediakan premium bagi mobil pribadi, sehingga mereka terpaksa harus membeli bensin dengan harga yang lebih mahal. Dengan demikian pemerintah berharap subsidi BBM bisa ditekan.
Artinya, sebagian beban kenaikan harga minyak dunia dilimpahkan kepada masyarakat. Pemilik mobil pribadi harus rela merogoh kocek lebih dalam. Itulah inti burden sharing atau bagi-bagi beban. Bukankah itu berarti harga bensin dinaikan secara implisit? Pembagian beban, apakah secara eksplisit melalui kenaikan harga maupun secara implisit dengan mengurangi pasokan BBM bersubsidi bukanlah hal yang baru. Setiap kali posisi fiskal terancam oleh kenaikan harga minyak dunia, pemerintah selalu mengambil jalan pintas seperti ini. Ada pertanyaan yang selalu menggelitik setiap kali pemerintah melakukannya; adakah jalan lain?
Ada, dan itu selalu gagal dilakukan. Jalan lain tersebut adalah peningkatan produksi minyak bumi dan penurunan ongkos produksi. Selama sembilan tahun terakhir, praktis produksi minyak bumi Indonesia terus-menerus mengalami penurunan dari 1,6 juta barel per hari menjadi hanya 910 ribu barel. Kalau saja produksi bisa digenjot lagi ke 1,2 juta barel niscaya kita tak perlu kerepotan menaikan harga. Dan itu sangat mungkin dilakukan dalam jangka dekat ini kalau sumur tua (brown field) diaktifkan kembali. Salah satu kegagalan terbesar pemerintah adalah pemanfaatan potensi brown field yang begitu saja ditelantarkan.
Hal lain yang gagal dilakukan adalah menekan ongkos produksi. Melalui production sharing contract (KPS) seluruh biaya operasional dan investasi dibebankan kepada pemerintah dan disebut sebagai cost recovery. Anehnya, dari tahun ke tahun cost recovery selalu meningkat sementara jumlah yang diproduksi cenderung menurun. Suatu hal yang sama sekali tak masuk logika. Apa masalahnya?
Temuan BPKP dan BPK menunjukkan negara dirugikan sebesar Rp 18,07 triliun rupiah akibat penggelembungan dalam cost recovery. Sebagian besar penggelembungan timbul karena lemahnya pengawasan yang mengakibatkan pengeluaran perusahaan di luar batas kewajaran. Teman saya di BP Migas malah berseloroh bahwa biaya orang kentut saja dimasukan kedalam komponen cost recovery.
Production sharing contract (PSC/KPS) merupakan skema kontrak yang lazim dalam ekonomi syariah disebut sebagai mudharabah. Dalam kontrak ini, bagi hasil dilakukan setelah seluruh komponen biaya diperhitungkan. Masalah utama dalam kontrak seperti ini adalah dalam menentukan kewajaran biaya produksi.
Mudharabah akan memenuhi prinsip keadilan apabila produksi dilakukan dengan metoda yang paling efisien dan dengan demikian biaya dapat ditekan sampai serendah mungkin. Setiap penggelembungan biaya di atas biaya yang paling efisien akan merugikan salah satu pihak dan merupakan suatu bentuk pencurian.
Terdapat dua syarat utama untuk bisa tercapainya efisiensi dan tercegahnya penggelembungan. Pertama, pelaksana kontrak harus mengaplikasikan teknologi atau metoda produksi yang paling efisien. Penggunaan teknologi yang tidak efisien akan merugikan kedua belah pihak karena mengurangi potensi keuntungan yang dibagihasilkan.
Selain itu, hal ini juga menimbulkan kesulitan dalam menentukan batas kewajaran pembebanan biaya. Biasanya, penghitungan kewajaran dilakukan dengan benchmarking terhadap perusahaan sejenis yang paling efisien. Benchmarking menjadi sulit manakala teknologi yang digunakan bukan yang paling efisien. Dalam situasi seperti ini, sangat sulit menentukan tingkat kewajaran biaya.
Syarat kedua adalah keterbukaan dalam pencatatan keuangan sehingga pemberi kontrak dapat melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pelaksana kontrak. Dalam setiap komponen pembiayaan harus ditentukan satuan biaya maksimal, standard harga dan standard pemakaian faktor produksi. Di luar itu, segala biaya yang timbul bukan merupakan komponen yang bisa dibebankan kepada kontrak.
Dalam laporan BPK yang diungkapkan kepada publik sangat jelas bahwa kedua syarat ini tidak terpenuhi. Unit cost di masing-masing PSC bisa berbeda sampai 50 persen. Standard biaya juga belum ditentukan sehingga tampak pengenaan biaya yang sangat serampangan. Selain itu, sistem pelaporan keuangan juga sangat jauh di bawah standard sehingga sangat menyulitkan pelaksanaan audit.
Intinya, dalam kontrak mudharabah masalah ketidaksempurnaan dalam informasi keuangan dan tata laksana produksi merupakan masalah klasik yang harus bisa dipecahkan untuk mencapai keadilan bagi hasil. Hal ini menjadi sangat sulit untuk dicapai manakala kontraktor dapat dengan leluasa membebankan biaya di luar batas kewajaran.
Hal itu biasa terjadi dalam lingkungan yang korup dan penegakan hukum yang lemah. Amanah memang merupakan kata-kata yang sering ditebarkan oleh para pendakwah, tetapi juga merupakan hal yang sangat langka diterapkan di negeri ini. Dibutuhkan sebuah rezim yang bersih untuk melaksanakan kontrak bisnis yang sesuai dengan syariah.
Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com

MENYAMBUT UU PARPOL YANG BARU

Jakarta, 10 Desember 2007

Menyambut UU Parpol yang Baru

Kamis (6/12) lalu rapat paripurna DPR menyepakati pengesahan rancangan undang-undang partai politik menjadi UU Partai Politik (UU Parpol). Rapat paripurna yang juga dihadiri Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, sebagai wakil pemerintah tersebut berisi pandangan umum sebelas fraksi melalui juru bicara masing-masing yang menyepakati RUU Parpol untuk disahkan menjadi UU. Maka, lahirlah UU Parpol yang kedua sejak era reformasi, menggantikan UU Nomor 31 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Ada beberapa hal penting dan menimbulkan pembahasan alot dalam rapat-rapat panitia khusus. Beberapa hal tersebut adalah syarat pendirian parpol, keterwakilan perempuan, keuangan parpol termasuk bentuk dan jumlah sumbangan, asas parpol, serta mekanisme internal parpol dan bentuk sanksinya.
Mencermati UU Parpol yang baru ini, ada terobosan penting yang perlu dicatat. Pertama, anggota pansus DPR tetap mempermudah syarat pendirian parpol yaitu dengan minimal 50 orang WNI. Syarat jumlah minimal ini sama dengan UU Nomor 31/2002. Semangat mempermudah pendirian parpol ini adalah bagian dari demokratisasi yang kita usung bersama dan merupakan hak politik yang dijamin konstitusi.
Bedanya terletak pada keterwakilan perempuan, dan ini menjadi terobosan kedua yang penting. Dalam pendirian parpol harus menyertakan minimal 30 persen perempuan (minimal 15 orang) sebagai pendiri parpol dan kepengurusan di tingkat pusat menyertakan paling sedikit 30 persen perempuan. Sementara itu untuk kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pun harus memerhatikan keterwakilan minimal 30 persen perempuan yang diatur dalam AD/ART parpol.
Makna dari diakomodasinya keterwakilan perempuan dalam UU Parpol adalah perluasan partisipasi politik perempuan. Ini menjadi modal penting bagi relasi yang konstruktif antara parpol dan kaum perempuan. Sebagaimana diketahui, partisipasi politik perempuan masih rendah dalam aktivitas partai politik selama ini.
Ketiga adalah keuangan parpol. Isu tentang Badan Usaha Milik Parpol (BUMP) yang mengemuka di awal pembahasan dan menjadi usulan beberapa parpol, akhirnya tidak disepakati dalam UU ini. Ada tiga sumber keuangan yang resmi yaitu iuran anggota, bantuan negara (ABPN/APBD), dan sumbangan perorangan dan badan usaha. Untuk sumbangan perorangan jumlahnya dinaikkan menjadi maksimal Rp 1 miliar.
UU ini juga tegas melarang parpol memperoleh sumbangan dana dari asing. Bentuk larangan lain adalah parpol dilarang menggunakan fraksi di DPR dan DPRD sebagai sumber keuangan parpol. Ini berarti melarang kebiasan yang selama ini terjadi bahwa parpol mengutip sumbangan dari anggota parlemennya. Aturan ini diarahkan untuk menjaga kemandirian anggota DPR (fraksi) atas parpol induknya.
Pertanyaan kritisnya adalah apakah UU Parpol yang baru ini mampu memperkuat institusi parpol? Persoalan parpol di Indonesia terletak pada masih lemahnya manajemen parpol sehingga memperlemah pula kinerjanya di masyarakat. Citra parpol sekarang mengalami krisis seiring rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi ini.
UU Parpol ini hanyalah salah satu sarana memperkuat, yang lebih penting adalah mekanisme internal melalui AD dan ART parpol. Politisi parpol belum 'hidup' di dalam partai, menjadikan parpol sebagai pengabdian mereka. Jangan sampai parpol 'hanya' menjadi kumpulan politisi untuk mengincar jabatan-jabatan politik dengan berbagai cara. Sebagus apa pun UU dibuat dan dihasilkan, akan menjadi 'pepesan kosong' saja jika dilaksanakan tanpa jiwa dan komitmen.
Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com

GANJALAN BANK SYARIAH

Jakarta, 10 Desember 2007
GANJALAN BANK SYARIAH
Sangat menarik untuk menelaah kendala pengembangan bank syariah di Indonesia dari hasil seminar akhir tahun perbankan syariah 2007 beberapa waktu lalu. Seminar tersebut menyebutkan bahwa perbankan syariah belum memahami kebutuhan riil nasabah dan masih mengalami masalah kualitas sumber daya manusia .
Pada hakikatnya, kedua kendala tersebut tidak hanya milik Indonesia tapi juga Malaysia dan negara-negara Timur Tengah yang telah lebih dahulu mengembangkan perbankan syariah. Masih kecilnya share perbankan syariah di negara-negara tersebut dan belum begitu berkembangnya pasar keuangan syariah menjadi salah satu pembenaran argumen tersebut.
Kebutuhan nasabah
Setelah lebih dari satu dasarwasa usia perbankan syariah di Tanah Air, keberadaannya sudah bukan merupakan barang baru di mata masyarakat. Hasil survei bank syariah yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2000 lalu maupun berbagai penelitian berkelanjutan di level akademik menyebutkan bahwa hampir semua lapisan masyarakat telah mengakui eksistensi bank syariah.
Kenyataan ini memberikan pesan bahwa sosialisasi dan edukasi perbankan syariah ke depan bukan lagi untuk memperkenalkan eksistensi bank syariah, namun harus menjelaskan nilai tambah yang ditawarkan oleh bank syariah (Joseph A Divanna, 2007) sehingga mengundang minat masyarakat. Hal ini dilakukan tidak saja kepada calon nasabah penyimpan dana (depositor) namun juga para pengusaha (peminjam dana) dan publik secara keseluruhan.
Di tengah tingginya persaingan perbankan dan realitas dua tipe nasabah bank syariah (nasabah rasional dan loyalitas), upaya pengembangan, sosialisasi dan edukasi bank syariah sejatinya memerlukan kontribusi semua pihak. Pemerintah dan Bank Indonesia berperan di sisi regulasi untuk menciptakan industri perbankan syariah yang prudent, sharia compatible, dan mengembangkan pasar keuangan syariah. Pengesahan UU Bank Syariah, UU Sukuk, dan regulasi terkait merupakan kontribusi utama pemerintah dan para wakil rakyat yang sangat menentukan masa depan sistem perbankan syariah.
Di sisi lain, bank syariah sebagai pelaku langsung dituntut pula untuk senantiasa meningkatkan kinerjanya. Mengubah orientasi pembiayaan dari debt based financing menjadi equity based financing berpotensi meningkatkan keuntungan bank syariah, memberikan kontribusi besar kepada ekonomi nasional, dan memberikan image positif kesuksesan sistem pembiayaan Islami dengan pola bagi hasil (Mirakhor, Abbas, 2007).
Syarat sukses penerapan pembiayaan mudarabah dan musyarakah dapat dilakukan baik melalui rekrutmen SDM yang kompeten maupun melalui kerja sama dengan lembaga swasta untuk menilai kelayakan dan progres pembiayaan yang tengah berjalan (Siddiqi, Nejatullah, 1994). Sistem informasi debitur, sistem informasi kredit, dan potensi kredit yang telah dikembangkan Bank Indonesia dapat menjadi salah satu faktor pendukung lainnya.
Financing screening based on business performance yang diterapkan bank-bank syariah di dunia yaitu menilai kinerja pengusaha berdasarkan kompetensi sangat mungkin diterapkan. Pengusaha yang secara kontinyu berkinerja baik dan meningkat, berpeluang mendapat alokasi pembiayaan yang lebih besar ketimbang mereka yang kinerjanya terus menurun.
Langkah-langkah tersebut tidak hanya akan memperbaiki dan meningkatkan hubungannya dengan para pengusaha namun juga mengakomodasi tuntutan depositor rasional agar bank syariah lebih profitable dan profesional. Sementara itu, tuntutan information technology (IT), online system, dan sebagainya banyak diupayakan bank-bank syariah di belahan dunia lain melalui kerja sama operasional baik sesama bank syariah maupun antara unit usaha syariah dari multinational bank dengan perusahaan induknya.
Kendala lain yang membuat bank syariah kurang memahami nasabahnya antara lain kekhawatiran gagal bayar (default), infeasible financing proposal, high risk financing (bagi nasabah pengusaha), dan kurangnya variasi produk, promosi produk, fleksibilitas produk. Di level pasar terdapat risiko likuditas, risiko pasar, risiko operasional, dan yang lain. Masalah default atau infeasible financing proposal pada hakikatnya dapat diatasi asalkan terdapat kejujuran, kepercayaan, dan good will dari pelaku keuangan syariah.
Demikian pula untuk pembiayaan berskala besar dengan risiko tinggi, hal ini memerlukan keterlibatan pemerintah selain bank syariah sebagai intermediator, dengan menerbitkan instrumen sukuk. Ketika landasan hukum sukuk diterbitkan di Tanah Air, diharapkan high risk financing bukan lagi menjadi kendala berarti. Bahkan potensi dana-dana simpanan syariah yang ditanam dalam bentuk sukuk dapat disalurkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan pemerintah. Di samping memenuhi kebutuhan pembiayaan jangka panjang, sukuk juga dikenal sebagai instrumen yang likuid sehingga keberadaanya di pasar keuangan syariah diharapkan dapat mengatasi kendala risiko likuiditas, risiko pasar, dan lain-lain.
Sementara itu, kerja sama antara Dewan Syariah Nasional (DSN), Bank Indonesia, lembaga kajian perbankan syariah dan perbankan syariah sendiri akan berkontribusi dalam melihat kemungkinan pengembangan instrumen (produk) bank syariah. Proses financial engineering yang sedang dan terus dilakukan berbagai bank syariah dunia dapat menjadi salah satu rujukan terkait dengan hal tersebut.
Faktor SDI
Sumber daya insani (SDI) dalam sistem perbankan syariah tidak hanya menentukan kinerja bank syariah, namun juga alat promosi dan edukasi bagi masyarakat. Menciptakan masyarakat yang cenderung bertransaksi dengan bank syariah mutlak ditentukan oleh sistem pendidikan yang akan mencetak SDI yang beriman dan berilmu, ditambah peran serta para ulama.
Pendidikan sistem keuangan Islam di berbagai level pendidikan termasuk membuka fakultas, jurusan ekonomi/perbankan Islam, maupun pusat-pusat pendidikan syariah adalah salah satu cara yang paling mungkin dilakukan. Usaha tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi perbankan syariah di berbagai level pendidikan maupun promosi dan sosialisasi keunggulan bank syariah dibandingkan bank konvensional.
Kerja sama pemerintah dan para ulama untuk menyampaikan pesan sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai Islam hendaknya terus dilakukan. Untuk menjembatani kesenjangan para ulama dan ilmu ekonomi Islam, dilakukan pelatihan dan pendidikan ekonomi/perbankan Islam kepada para ulama dan di sisi lain para ekonom Islam dan Islamic bankers diharapkan juga terjun menjadi tenaga pendidik di berbagai institusi pendidikan syariah. Kemajuan sistem informasi dan teknologi dewasa ini juga membuka peluang belajar syariah melalui internet. Dengan kemudahan ini seyogyanya tugas institusi pendidikan di tanah air juga akan sangat terbantu.
Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com

Saturday, December 8, 2007

Empat Tokoh Pilihan Peraih Habibie Award Tahun 2007

Jakarta, 8 Desember 2007


Empat Tokoh Pilihan Peraih Habibie Award Tahun 2007



Setelah melalui seleksi yang ketat oleh tim independen, The Habibie Center (THC) dan Yayasan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM IPTEK) menetapkan empat orang peraih Habibie Award. Mereka adalah Prof. Sri Widiyantoro dari bidang ilmu dasar, Prof. Elin Yulinah Sukandar dari bidang ilmu kedokteran dan bioteknologi, Dr. H. C. Rosihan Anwar dari bidang sosial dan Dr. H. C. Taufik Ismail dari bidang budaya. Penganugerahan Habibie Award diselenggarakan pada 6 Desember 2007.
Penganugerahan tersebut dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Prof. M. Nuh dan Prof Wardiman Djojonegoro selaku Ketua Dewan Pengurus Yayasan SDM-IPTEK.
Habibie Award diberikan kepada perseorangan atau badan yang dinilai sangat aktif dan berjasa besar dalam menemukan, mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai kegiatan IPTEK yang baru (innovative), serta bermanfaat secara berarti (significant) bagi peningkatan kesejahteraan, keadilan dan perdamaian. Para pemenang Habibie Award akan memperoleh medali, piagam penghargaan, dan uang senilai US$ 25.000,-.
Peraih Habibie Award dari bidang ilmu dasar adalah Prof. Dr. Sri Widiyantoro, Guru Besar bidang Seismologi yang memiliki penemuan mutahir tentang gempa dan seismologi, Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung 2007. Pada tahun 1989, Sri Widiyantoro mendapatkan beasiswa Monbusho untuk meneruskan studi S2-nya di Kyoto University, Jepang. Tidak lama setelah menyelesaikan Program Master-nya, ia mendapatkan kesempatan untuk menempuh Program Doktor di Australian National University (ANU).
Sedangkan penerima Habibie Award dari bidang kedokteran dan teknologi adalah Prof. Elin Yulinah Sukandar, apoteker beroprestasi yang telah menemukan beberapa formula obat, lahir di Bandung pada tanggal 26 Juli 1951. Elin masuk ITB th 1970, lulus Sarjana Farmasi th 1974 dan pendidikan profesi apoteker diselesaikannya pada th 1975. Saat sedang mengikuti pendidikan apoteker, Elin Yulinah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 1 Januari 1975, dan itu Elin bertugas sebagai staf pengajar di Jurusan Farmasi ITB. Pada tahun 1976, Elin Yulinah mendapat kesempatan untuk memperdalam Farmakologi - Khemotherapi di Universitaet zu Koeln - Jerman Barat, dan sekembalinya dari Jerman, bersama-sama dengan Prof. Joke Wattimena mendirikan Laboratorium Khemoterapi pada th 1978.
Sementara itu dari bidang social, penerima Habibie Award adalah Dr. H.C. Rosihan Anwar yang dikenal sebagai wartawan tiga zaman. Di usia yang ke-85, Rosihan telah menulis 34 judul buku. Beberapa tanda kehormatan dan penghargaan yang telah diraihnya adalah Bintang Kerajaan Tunisia, (1956); Bintang Mahaputera Utama III, Republik Indonesia, (1973); Bintang Rizal, Republik Filipina, (1977); Pena Emas PWI Pusat, (1979), Piagam Penghargaan Pengabdian sebagai Wartawan dari Gubernur/ KDH Sumatra Barat, (1984); Penghargaan PWI Pusat dan Departemen Penerangan RI bagi wartawan aktif berusia 70 tahun, (1992); Penghargaan Harian Kompas (2005) atas kesetiaan kepada profesi. Penerima Habibie Award dari bidang budaya adalah Dr. H.C. Taufiq Ismail, budayawan sarat prestasi yang lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935 ini adalah angkatan pertama dari Indonesia yang menjadi pelajar beasiswa AFSIS, Wisconsin. Pendidikan universitasnya dilanjutkan ke Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor, 1957-1963. Sebagai poet-in-residence di International Writing Program, University of Iowa, IA, 1971-1972 dan 1991-1992. Masuk Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, 1993.




Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com

Empat Tokoh Pilihan Peraih Habibie Award Tahun 2007

Jakarta, 8 Desember 2007


Empat Tokoh Pilihan Peraih Habibie Award Tahun 2007



Setelah melalui seleksi yang ketat oleh tim independen, The Habibie Center (THC) dan Yayasan Sumber Daya Manusia dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (SDM IPTEK) menetapkan empat orang peraih Habibie Award. Mereka adalah Prof. Sri Widiyantoro dari bidang ilmu dasar, Prof. Elin Yulinah Sukandar dari bidang ilmu kedokteran dan bioteknologi, Dr. H. C. Rosihan Anwar dari bidang sosial dan Dr. H. C. Taufik Ismail dari bidang budaya. Penganugerahan Habibie Award diselenggarakan pada 6 Desember 2007.
Penganugerahan tersebut dihadiri Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Prof. M. Nuh dan Prof Wardiman Djojonegoro selaku Ketua Dewan Pengurus Yayasan SDM-IPTEK.
Habibie Award diberikan kepada perseorangan atau badan yang dinilai sangat aktif dan berjasa besar dalam menemukan, mengembangkan dan menyebarluaskan berbagai kegiatan IPTEK yang baru (innovative), serta bermanfaat secara berarti (significant) bagi peningkatan kesejahteraan, keadilan dan perdamaian. Para pemenang Habibie Award akan memperoleh medali, piagam penghargaan, dan uang senilai US$ 25.000,-.
Peraih Habibie Award dari bidang ilmu dasar adalah Prof. Dr. Sri Widiyantoro, Guru Besar bidang Seismologi yang memiliki penemuan mutahir tentang gempa dan seismologi, Kelompok Keahlian Ilmu dan Teknik Geofisika Institut Teknologi Bandung 2007. Pada tahun 1989, Sri Widiyantoro mendapatkan beasiswa Monbusho untuk meneruskan studi S2-nya di Kyoto University, Jepang. Tidak lama setelah menyelesaikan Program Master-nya, ia mendapatkan kesempatan untuk menempuh Program Doktor di Australian National University (ANU).
Sedangkan penerima Habibie Award dari bidang kedokteran dan teknologi adalah Prof. Elin Yulinah Sukandar, apoteker beroprestasi yang telah menemukan beberapa formula obat, lahir di Bandung pada tanggal 26 Juli 1951. Elin masuk ITB th 1970, lulus Sarjana Farmasi th 1974 dan pendidikan profesi apoteker diselesaikannya pada th 1975. Saat sedang mengikuti pendidikan apoteker, Elin Yulinah diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil pada tanggal 1 Januari 1975, dan itu Elin bertugas sebagai staf pengajar di Jurusan Farmasi ITB. Pada tahun 1976, Elin Yulinah mendapat kesempatan untuk memperdalam Farmakologi - Khemotherapi di Universitaet zu Koeln - Jerman Barat, dan sekembalinya dari Jerman, bersama-sama dengan Prof. Joke Wattimena mendirikan Laboratorium Khemoterapi pada th 1978.
Sementara itu dari bidang social, penerima Habibie Award adalah Dr. H.C. Rosihan Anwar yang dikenal sebagai wartawan tiga zaman. Di usia yang ke-85, Rosihan telah menulis 34 judul buku. Beberapa tanda kehormatan dan penghargaan yang telah diraihnya adalah Bintang Kerajaan Tunisia, (1956); Bintang Mahaputera Utama III, Republik Indonesia, (1973); Bintang Rizal, Republik Filipina, (1977); Pena Emas PWI Pusat, (1979), Piagam Penghargaan Pengabdian sebagai Wartawan dari Gubernur/ KDH Sumatra Barat, (1984); Penghargaan PWI Pusat dan Departemen Penerangan RI bagi wartawan aktif berusia 70 tahun, (1992); Penghargaan Harian Kompas (2005) atas kesetiaan kepada profesi. Penerima Habibie Award dari bidang budaya adalah Dr. H.C. Taufiq Ismail, budayawan sarat prestasi yang lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1935 ini adalah angkatan pertama dari Indonesia yang menjadi pelajar beasiswa AFSIS, Wisconsin. Pendidikan universitasnya dilanjutkan ke Fakultas Kedokteran Hewan & Peternakan, Universitas Indonesia, Bogor, 1957-1963. Sebagai poet-in-residence di International Writing Program, University of Iowa, IA, 1971-1972 dan 1991-1992. Masuk Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, 1993.




Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com