Saturday, November 10, 2007

Program Pengentasan Kemiskinan

jakarta 5 September 2006
Program Pengentasan Kemiskinan

Pengentasan kemiskinan tentu saja sangat diharapkan tidak berjalan sebagaimana adanya. Ada program-program yang jelas dan terencana serta terjaga kesinambungannya. Apalagi setelah Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data terbaru yang memperlihatkan kenaikan jumlah penduduk miskin; yaitu 17,75 persen atau 39,05 juta jiwa, naik 3,95 juta orang dari Februari 2005 yang hanya 35,10 juta orang (15,97 persen).
Namun, sejak pidato kenegaraan Presiden Agustus lalu, yang menyebutkan terjadi penurunan jumlah kemiskinan, tak terdengar program pengentasan kemiskinan yang jelas. Bahkan, ketika data dalam naskah pidato itu menjadi kontroversi, pemerintah lebih sibuk meyakinkan siapa pun bahwa data itu benar adanya.
Baru sehari sebelum BPS memublikasikan data terbarunya (1 September 2006), Menko Perekonomian, menggelar jumpa pers dan menjelaskan pemerintah meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Dana yang dikucurkan untuk program ini diusulkan mencapai Rp 51 triliun untuk tahun depan. Sasaran yang hendak dituju adalah masyarakat di dusun, desa, hingga tingkat kecamatan.
Pemerintah mengklaim program ini akan membantu menurunkan angka kemiskinan hingga 8,2 persen pada 2009 dan tingkat pengangguran hingga 5,1 persen. Hanya bagaimana penurunan itu bisa terjadi kurang terurai, kecuali disebutkan intinya PNPM didasarkan proses pengambilan keputusan di desa, oleh penduduk sendiri. Pemerintah tidak menentukan uang untuk apa, kapan, oleh siapa. Semua ditentukan musyawarah desa itu sendiri. Pemerintah hanya menyediakan uang dan pendampingan agar secara teknis benar dan tertib anggaran.
Lalu, beberapa hari setelah data terbaru BPS dipublikasikan, tepatnya kemarin, pemerintah mengklaim kemiskinan dan pengangguran akan berkurang bila alokasi anggaran pembangunan terutama infrastruktur diperbesar. Lain kata, sejumlah anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus diperbesar untuk pengembangan infrastruktur. Padahal, dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2007 tercatat, anggaran untuk infrastruktur hanya Rp 33,8 triliun atau 8,2 persen dari total realisasi belanja pemerintah pusat. Jumlah ini lebih kecil dari anggaran yang sama dalam APBN-P 2006 yang mencapai Rp 38,6 triliun.
Yang jelas, anggaran tersebut akan digunakan untuk pembangunan perdesaan dalam bentuk proyek bantuan. Sejumlah proyek yang akan dibiayai adalah proyek sarana dan prasarana jalan desa, titian dan jembatan desa, serta tambatan perahu. Lalu, prasarana irigasi desa dan air bersih desa. Sepanjang semua program tadi bisa benar-benar menyentuh dan mengentaskan penduduk miskin, tak ada salahnya dicoba, tentunya dengan pengawasan sangat ketat.
Tapi tetap saja, program-program tadi terkesan lebih bersifat reaktif dan jangka pendek. Banyak program, dari tahun ke tahun, sudah digulirkan untuk menekan angka kemiskinan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Kebijakan yang parsial serta kurang komprehensif malah dituding memperbesar angka kemiskinan.
Pandangan yang menyebutkan minimnya keberlanjutan dari program-program tersebut mestinya mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Perlu diingat yang dibutuhkan sesungguhnya bukan hanya sekadar program pengentasan kemiskinan setahun, dua tahun, atau lima tahun. Tapi, sebuah sistem pengentasan kemiskinan yang bisa bergulir, sustainable, siapa pun pemerintahan dan kabinetnya. Sebuah sistem pengentasan kemiskinan yang mestinya tak terusik intervensi politik.



wassalam
Rachmad
Independent
pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com