Wednesday, December 12, 2007

MENYAMBUT UU PARPOL YANG BARU

Jakarta, 10 Desember 2007

Menyambut UU Parpol yang Baru

Kamis (6/12) lalu rapat paripurna DPR menyepakati pengesahan rancangan undang-undang partai politik menjadi UU Partai Politik (UU Parpol). Rapat paripurna yang juga dihadiri Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto, sebagai wakil pemerintah tersebut berisi pandangan umum sebelas fraksi melalui juru bicara masing-masing yang menyepakati RUU Parpol untuk disahkan menjadi UU. Maka, lahirlah UU Parpol yang kedua sejak era reformasi, menggantikan UU Nomor 31 Tahun 2002 yang kini berlaku.
Ada beberapa hal penting dan menimbulkan pembahasan alot dalam rapat-rapat panitia khusus. Beberapa hal tersebut adalah syarat pendirian parpol, keterwakilan perempuan, keuangan parpol termasuk bentuk dan jumlah sumbangan, asas parpol, serta mekanisme internal parpol dan bentuk sanksinya.
Mencermati UU Parpol yang baru ini, ada terobosan penting yang perlu dicatat. Pertama, anggota pansus DPR tetap mempermudah syarat pendirian parpol yaitu dengan minimal 50 orang WNI. Syarat jumlah minimal ini sama dengan UU Nomor 31/2002. Semangat mempermudah pendirian parpol ini adalah bagian dari demokratisasi yang kita usung bersama dan merupakan hak politik yang dijamin konstitusi.
Bedanya terletak pada keterwakilan perempuan, dan ini menjadi terobosan kedua yang penting. Dalam pendirian parpol harus menyertakan minimal 30 persen perempuan (minimal 15 orang) sebagai pendiri parpol dan kepengurusan di tingkat pusat menyertakan paling sedikit 30 persen perempuan. Sementara itu untuk kepengurusan parpol di tingkat provinsi dan kabupaten/kota pun harus memerhatikan keterwakilan minimal 30 persen perempuan yang diatur dalam AD/ART parpol.
Makna dari diakomodasinya keterwakilan perempuan dalam UU Parpol adalah perluasan partisipasi politik perempuan. Ini menjadi modal penting bagi relasi yang konstruktif antara parpol dan kaum perempuan. Sebagaimana diketahui, partisipasi politik perempuan masih rendah dalam aktivitas partai politik selama ini.
Ketiga adalah keuangan parpol. Isu tentang Badan Usaha Milik Parpol (BUMP) yang mengemuka di awal pembahasan dan menjadi usulan beberapa parpol, akhirnya tidak disepakati dalam UU ini. Ada tiga sumber keuangan yang resmi yaitu iuran anggota, bantuan negara (ABPN/APBD), dan sumbangan perorangan dan badan usaha. Untuk sumbangan perorangan jumlahnya dinaikkan menjadi maksimal Rp 1 miliar.
UU ini juga tegas melarang parpol memperoleh sumbangan dana dari asing. Bentuk larangan lain adalah parpol dilarang menggunakan fraksi di DPR dan DPRD sebagai sumber keuangan parpol. Ini berarti melarang kebiasan yang selama ini terjadi bahwa parpol mengutip sumbangan dari anggota parlemennya. Aturan ini diarahkan untuk menjaga kemandirian anggota DPR (fraksi) atas parpol induknya.
Pertanyaan kritisnya adalah apakah UU Parpol yang baru ini mampu memperkuat institusi parpol? Persoalan parpol di Indonesia terletak pada masih lemahnya manajemen parpol sehingga memperlemah pula kinerjanya di masyarakat. Citra parpol sekarang mengalami krisis seiring rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi ini.
UU Parpol ini hanyalah salah satu sarana memperkuat, yang lebih penting adalah mekanisme internal melalui AD dan ART parpol. Politisi parpol belum 'hidup' di dalam partai, menjadikan parpol sebagai pengabdian mereka. Jangan sampai parpol 'hanya' menjadi kumpulan politisi untuk mengincar jabatan-jabatan politik dengan berbagai cara. Sebagus apa pun UU dibuat dan dihasilkan, akan menjadi 'pepesan kosong' saja jika dilaksanakan tanpa jiwa dan komitmen.
Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com