Wednesday, December 12, 2007

GANJALAN BANK SYARIAH

Jakarta, 10 Desember 2007
GANJALAN BANK SYARIAH
Sangat menarik untuk menelaah kendala pengembangan bank syariah di Indonesia dari hasil seminar akhir tahun perbankan syariah 2007 beberapa waktu lalu. Seminar tersebut menyebutkan bahwa perbankan syariah belum memahami kebutuhan riil nasabah dan masih mengalami masalah kualitas sumber daya manusia .
Pada hakikatnya, kedua kendala tersebut tidak hanya milik Indonesia tapi juga Malaysia dan negara-negara Timur Tengah yang telah lebih dahulu mengembangkan perbankan syariah. Masih kecilnya share perbankan syariah di negara-negara tersebut dan belum begitu berkembangnya pasar keuangan syariah menjadi salah satu pembenaran argumen tersebut.
Kebutuhan nasabah
Setelah lebih dari satu dasarwasa usia perbankan syariah di Tanah Air, keberadaannya sudah bukan merupakan barang baru di mata masyarakat. Hasil survei bank syariah yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2000 lalu maupun berbagai penelitian berkelanjutan di level akademik menyebutkan bahwa hampir semua lapisan masyarakat telah mengakui eksistensi bank syariah.
Kenyataan ini memberikan pesan bahwa sosialisasi dan edukasi perbankan syariah ke depan bukan lagi untuk memperkenalkan eksistensi bank syariah, namun harus menjelaskan nilai tambah yang ditawarkan oleh bank syariah (Joseph A Divanna, 2007) sehingga mengundang minat masyarakat. Hal ini dilakukan tidak saja kepada calon nasabah penyimpan dana (depositor) namun juga para pengusaha (peminjam dana) dan publik secara keseluruhan.
Di tengah tingginya persaingan perbankan dan realitas dua tipe nasabah bank syariah (nasabah rasional dan loyalitas), upaya pengembangan, sosialisasi dan edukasi bank syariah sejatinya memerlukan kontribusi semua pihak. Pemerintah dan Bank Indonesia berperan di sisi regulasi untuk menciptakan industri perbankan syariah yang prudent, sharia compatible, dan mengembangkan pasar keuangan syariah. Pengesahan UU Bank Syariah, UU Sukuk, dan regulasi terkait merupakan kontribusi utama pemerintah dan para wakil rakyat yang sangat menentukan masa depan sistem perbankan syariah.
Di sisi lain, bank syariah sebagai pelaku langsung dituntut pula untuk senantiasa meningkatkan kinerjanya. Mengubah orientasi pembiayaan dari debt based financing menjadi equity based financing berpotensi meningkatkan keuntungan bank syariah, memberikan kontribusi besar kepada ekonomi nasional, dan memberikan image positif kesuksesan sistem pembiayaan Islami dengan pola bagi hasil (Mirakhor, Abbas, 2007).
Syarat sukses penerapan pembiayaan mudarabah dan musyarakah dapat dilakukan baik melalui rekrutmen SDM yang kompeten maupun melalui kerja sama dengan lembaga swasta untuk menilai kelayakan dan progres pembiayaan yang tengah berjalan (Siddiqi, Nejatullah, 1994). Sistem informasi debitur, sistem informasi kredit, dan potensi kredit yang telah dikembangkan Bank Indonesia dapat menjadi salah satu faktor pendukung lainnya.
Financing screening based on business performance yang diterapkan bank-bank syariah di dunia yaitu menilai kinerja pengusaha berdasarkan kompetensi sangat mungkin diterapkan. Pengusaha yang secara kontinyu berkinerja baik dan meningkat, berpeluang mendapat alokasi pembiayaan yang lebih besar ketimbang mereka yang kinerjanya terus menurun.
Langkah-langkah tersebut tidak hanya akan memperbaiki dan meningkatkan hubungannya dengan para pengusaha namun juga mengakomodasi tuntutan depositor rasional agar bank syariah lebih profitable dan profesional. Sementara itu, tuntutan information technology (IT), online system, dan sebagainya banyak diupayakan bank-bank syariah di belahan dunia lain melalui kerja sama operasional baik sesama bank syariah maupun antara unit usaha syariah dari multinational bank dengan perusahaan induknya.
Kendala lain yang membuat bank syariah kurang memahami nasabahnya antara lain kekhawatiran gagal bayar (default), infeasible financing proposal, high risk financing (bagi nasabah pengusaha), dan kurangnya variasi produk, promosi produk, fleksibilitas produk. Di level pasar terdapat risiko likuditas, risiko pasar, risiko operasional, dan yang lain. Masalah default atau infeasible financing proposal pada hakikatnya dapat diatasi asalkan terdapat kejujuran, kepercayaan, dan good will dari pelaku keuangan syariah.
Demikian pula untuk pembiayaan berskala besar dengan risiko tinggi, hal ini memerlukan keterlibatan pemerintah selain bank syariah sebagai intermediator, dengan menerbitkan instrumen sukuk. Ketika landasan hukum sukuk diterbitkan di Tanah Air, diharapkan high risk financing bukan lagi menjadi kendala berarti. Bahkan potensi dana-dana simpanan syariah yang ditanam dalam bentuk sukuk dapat disalurkan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan pemerintah. Di samping memenuhi kebutuhan pembiayaan jangka panjang, sukuk juga dikenal sebagai instrumen yang likuid sehingga keberadaanya di pasar keuangan syariah diharapkan dapat mengatasi kendala risiko likuiditas, risiko pasar, dan lain-lain.
Sementara itu, kerja sama antara Dewan Syariah Nasional (DSN), Bank Indonesia, lembaga kajian perbankan syariah dan perbankan syariah sendiri akan berkontribusi dalam melihat kemungkinan pengembangan instrumen (produk) bank syariah. Proses financial engineering yang sedang dan terus dilakukan berbagai bank syariah dunia dapat menjadi salah satu rujukan terkait dengan hal tersebut.
Faktor SDI
Sumber daya insani (SDI) dalam sistem perbankan syariah tidak hanya menentukan kinerja bank syariah, namun juga alat promosi dan edukasi bagi masyarakat. Menciptakan masyarakat yang cenderung bertransaksi dengan bank syariah mutlak ditentukan oleh sistem pendidikan yang akan mencetak SDI yang beriman dan berilmu, ditambah peran serta para ulama.
Pendidikan sistem keuangan Islam di berbagai level pendidikan termasuk membuka fakultas, jurusan ekonomi/perbankan Islam, maupun pusat-pusat pendidikan syariah adalah salah satu cara yang paling mungkin dilakukan. Usaha tersebut akan berfungsi ganda sebagai edukasi perbankan syariah di berbagai level pendidikan maupun promosi dan sosialisasi keunggulan bank syariah dibandingkan bank konvensional.
Kerja sama pemerintah dan para ulama untuk menyampaikan pesan sistem ekonomi berdasarkan nilai-nilai Islam hendaknya terus dilakukan. Untuk menjembatani kesenjangan para ulama dan ilmu ekonomi Islam, dilakukan pelatihan dan pendidikan ekonomi/perbankan Islam kepada para ulama dan di sisi lain para ekonom Islam dan Islamic bankers diharapkan juga terjun menjadi tenaga pendidik di berbagai institusi pendidikan syariah. Kemajuan sistem informasi dan teknologi dewasa ini juga membuka peluang belajar syariah melalui internet. Dengan kemudahan ini seyogyanya tugas institusi pendidikan di tanah air juga akan sangat terbantu.
Wassalam

Rachmad
INDEPENDENT
Pemerhati Public & Media
rbacakoran at yahoo dot com

www.rachmadindependent.blogspot.com atau
http://rachmadindependent.blogspot.com