Wednesday, January 16, 2008

KRISIS TEMPE AKIBAT KEBIJAKAN YANG SALAH

JAKARTA 17 JANUARI 2008

Krisis Tempe Akibat Kebijakan yang Salah

Kenaikan harga kedelai kini menjadi berita hangat di media massa. Maklum, harga kedelai melonjak hingga 100 persen. Akibatnya, ribuan pengusaha tahu dan tempe di sekitar Jabodetabek berunjuk rasa di depan Istana Presiden, Jakarta, Senin (14/1) lalu.
Demonstran menyatakan kenaikan harga kedelai menyusahkan pengusaha yang rata-rata bermodal kecil. Mereka menuntut agar pemerintah segera menstabilkan harga. Apabila masalah ini tak diatasi, pengusaha terpaksa akan menghentikan produksinya.
Harga tempe semula Rp 2.000 menjadi Rp 8.000 per kilogram. Keadaan ini diperparah lagi dengan kenaikan biaya produksi. Dampak kenaikan harga kedelai sangat memukul usaha kecil dan konsumen.
Pemerintah memang sudah memutuskan kebijakan penghapusan bea masuk kedelai dari 10 persen menjadi nol persen sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Namun, kebijakan ini bisa menekan harga kedelai hingga batas normal atau sekadar menguntungkan importir kedelai?
Bangsa yang dulu dikenal dengan negara agraris dan negara 'tempe' kini tersandung masalah kelangkaan tempe. Makanan tradisional ini dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.
Dalam Bab 3 dan Bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 ditemukan kata tempe. Misalnya, dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan.
Krisis ini mencengangkan karena sejak zaman penjajahan tidak pernah menjadi masalah. Namun, setelah lebih 62 tahun merdeka justru menjadi persoalan negara. Makanan ini alternatif yang canggih dan murah untuk menghindari kolesterol jahat.
Faktanya, bangsa ini menggantungkan pasokan bahan baku kedelainya dari luar negeri. Dari total kebutuhan dua juta ton per tahun, produksi dalam negeri hanya bisa menyuplai 650 ribu ton.
Lalu, bagaimana dengan kebijakan pemerintah mengenai ketahanan pangan nasional, terutama kedelai ini? Pemerintah memang tidak pernah bersikap profesional mengelola seluruh aspek kepentingan negara dan kebutuhan primer dan sekunder masyarakat.
Masalah beruntun dari kenaikan dan kelangkaan beras, minyak, pupuk, tepung, dan kini tempe. Apa jadinya jika tempe menjadi barang mewah yang berharga mahal dan langka?
Penulis memiliki catatan khusus mengenai variabel-variabel penentu penyebabnya. Pertama, lemahnya peran pemerintah dan Bulog. Dalam program kerja Kabinet Indonesia Bersatu (2004-009) ditetapkan bahwa isu ketahanan pangan sebagai salah satu isu kebijaksanaan operasional pembangunan pertanian.
Prioritas ini mengingat pangan merupakan kebutuhan paling mendasar bagi pengembangan sumber daya manusia. Secara teori dan program kerja yang dicanangkan pemerintah, kita bisa memberi nilai 90 atau baik. Namun, dalam tahapan praktik realisasinya sungguh di luar harapan. Bahkan, bisa dinilai buruk sekali.
Kebijakan yang bersifat bottom-up dibuat setelah muncul kasus-kasus besar. Faktor efektivitas dan ketepatan kebijakan hanya berorientasi sesaat.
Sejarah membuktikan bahwa ketahanan pangan sangat erat kaitannya dengan ketahanan sosial, stabilitas ekonomi, stabilitas politik, dan keamanan atau ketahanan nasional (Suryana, 2001, Simatupang et.all). Bulog menjadi salah satu instrumen operasionalnya.

Optimalisasi Bulog
Meski sudah berubah menjadi Perum, Bulog masih melaksanakan fungsi public service obligation (PSO) dan lembaga komersial. Undang-Undang (UU) No 7/1996 tentang Pangan, mengamanatkan agar Bulog tetap menjalankan tugas logistik di bidang pengadaan, penyimpanan, dan penyaluran beras sebagai komoditas pangan pokok.
Ada lima tugas publik Bulog, yaitu, menjamin harga pembelian pemerintah (HPP), stabilisasi harga, penyaluran beras untuk keluarga miskin (raskin), mengelola stok pangan nasional, dan promosi ekspor. Tugas tersebut tidak pernah dihilangkan, bahkan makin diperkuat dengan manajemen baru.
Di samping beras, masih ada tiga komoditas pangan lainnya, yaitu gula, kedelai, dan jagung sebagai komoditas strategis yang perlu ditangani secara serius. Karena itu, perlu optimalisasi peran Bulog dalam menangani empat komoditas pangan strategis tersebut. Tugas pokok dan fungsi Bulog harus dipertegas.
Setiap penugasan pemerintah, perlu diformalkan dalam bentuk kebijakan, seperti keputusan presiden (keppres) atau keputusan menteri (kepmen) sehingga landasan hukumnya jelas dan konsekuensi dari penugasan tersebut dapat diperhitungkan. Saatnya Bulog mengambil peran penyediaan pangan sangat strategis ini.
Perum Bulog tak seharusnya hanya berpikir untung-rugi. Bulog harus bisa menjadi stabilisator ketersediaan semua produk pangan nasional karena memiliki catatan dan pengalaman yang cukup mumpuni pada masa lalu. Namun, pelaksanaannya harus lebih fleksibel, transparan, profesional, dan efisien.
Kedua, faktor revitalisasi pertanian. Minimnya revitalisasi sektor pertanian mengakibatkan rendahnya produktivitas pertanian. Akhirnya mengakibatkan kekurangan persediaan pangan. Apalagi, dengan luas lahan makin berkurang.
Revitalisasi pertanian yang sudah dicanangkan berkali-kali sekadar sebuah seremonial untuk kepentingan publikasi program. Upaya membenahi semua yang dibutuhkan bagi kebangkitan sektor pertanian tidak kunjung terjadi. Seperti diingatkan ahli ekonomi pertanian Peter Timmer, sepanjang tidak ada inovasi baru, tidak ada teknologi baru yang diperkenalkan, jangan heran apabila produktivitas tidak pernah akan meningkat.
Tanpa ada revitalisasi, mustahil kelangkaan pangan nasional (kedelai) akan berakhir. Apalagi, kalau kita lihat cara pengelolaan produk hasil pertanian yang tanpa inovasi baru, mulai dari tingkat petani hingga lembaga yang lebih tinggi. Penanganannya begitu buruk.
Padahal, lebih dari 60 persen bangsa ini masih hidup dari sektor pertanian. Ketika kehidupannya terus tertekan, merekalah yang akhirnya menjadi kelompok masyarakat miskin itu. Jika mau dan terus berusaha menciptakan inovasi-inovasi baru, para petani akan lebih makmur dan sejahtera.
Selain faktor di atas, khusus untuk komoditas kedelai, para petani lokal kita ternyata tidak tertarik menanam kedelai karena tidak ada insentif dan kemudahan untuk menjual hasil produksinya. Sementara itu, harga jualnya tak bisa menutup ongkos produksi.
Kedua, kenaikan harga kedelai dunia dari 300 dolar AS per ton menjadi 600 dolar AS per ton. Kenaikan itu menyebabkan harga kedelai dalam negeri melonjak dari Rp 3.000 per kilogram menjadi Rp 6.000 sampai Rp 8.000 per kilogram. Ketiga. Keadaan ini diperparah lagi dengan kebijakan pembangunan pertanian yang keliru. Pemerintah lebih memprioritaskan usaha-usaha agrobisnis perkebunan yang berlahan luas, seperti kelapa sawit, sementara pembangunan tanaman pangan terabaikan.
Dulu setiap musim kemarau hampir 80 persen ladang milik masyarakat ditanami kedelai. Namun, sekarang tidak ada satu lahan pun ditanami kedelai. Ketika ditanya, para petani menjawab menanam kedelai rugi, menjualnya juga susah.
Melihat beberapa persoalan di atas, sudah saatnya bagi pemerintah membenahi kembali tata niaga komoditas pangan nasional, terutama kedelai yang menjadi hajat seluruh rakyat. Perlu juga merekonstruksi kembali beragam kebijakan praktis baik berupa penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga yang lebih kompetitif agar masyarakat dapat sedikit bernapas sesaat di tengah himpitan ekonomi yang semakin mencekik. Kalau bukan pemerintah, lantas siapa lagi yang akan bertanggung jawab dan peduli serta berpihak kepada masyarakat.
Para pedagang gorengan pun terkena imbas nya, tempe dan tahu jadi langka. Hasil survei di beberapa tempat banyak pedagang gorengan yang tidak menjual lagi tahu dan tempe, nasib yang tragis baru-baru ini seorang pedagang gorengan sampai bunuh diri, semoga ini tidak terjadi dengan para pedagang yang lainnya.


wassalam

Rachmad
Independent
Pemerhati public & media
rbacakoran at yahoo dot com